Friday, June 15, 2012

Pengalaman Menonton Bunglon

Waktu kali pertama mendengar judul ini di sebut, saya tak menyangka bahwa film pendek yang disutradarai dan ditulis oleh Angkasa Ramadhan ini akan bercerita mengenai hubungan perkawinan. (padahal harusnya saya sudah terformat di kepala bahwa apapun yang Angkasa buat pasti berhubungan dengan cinta dan perkawinan --this kid is obsessed with it.) 

Penasarankah saya mengenai hubungan bunglon? (binatang jelek bentuknya dan bila berganti warna sedikit membuat saya begidik karena proses bergantinya sangat pelan). Tentu saya penasaran. Cerita perkawinan seperti apa yang bisa dianalogikan dengan binatang itu? 

Sayang, kesempatan pertama menonton film ini tak saya manfaatkan karena saya terjebak oleh waktu sehingga sesampainya di ruang pemutaran, rough cut si Bunglon sudah kelar diputar :( huhuhu.... padahal dari gosip-gosip yang beredar, film tersebut mendapat nilai lumayan. 

Untung saya mendapat kesempatan kedua di final cut beberapa minggu setelahnya. 

Nah, setelah menonton, empunya film (Angkasa dan Candra) meminta bayaran review terhadap film mereka (Candra berlaku sebagai Produser di film ini). 

Sebenarnya permintaan mereka untuk mereview pada saya : salah alamat. Saya tak bisa me-review film, yang saya lakukan adalah menuliskan pengalaman menonton saya. Karena saya hanyalah penonton awam yang tak bisa beri masukan filmis (is that a word?) 

well, karena saya sudah menonton dan menonton harus bayar, maka berikut adalah pengalaman saya menonton Bunglon :) 

Pertama saya harus menyatakan bahwa saya menikmati menonton Bunglon. Ada cerita yang disampaikan di sana, dan cerita tersebut bukan sesuatu yang biasa. :) Walau tak merasa terlena oleh cerita sampai bisa mengaitkannya dengan pengalaman atau pandangan pribadi saya, Bunglon membuat saya berpikir mengenai problematika perkawinan (taelah). 

Saat menonton, ada 3 hal melintas di kepala saya: 
1. Judul 
2. Cerita  
3. Aktor dan dialog

Maka hanya 3 hal ini saja yang akan saya bahas (selain tentunya sudah terlalu panjang film ini dibahas oleh para pembimbing para pembuat film tersebut, saya juga tak tahu lebih banyak lagi :)) 

1. Judul 
Saya suka bikin judul. Sebagai penulis artikel, judul adalah sebuah tempat di mana kita bisa bermain-main dan menggenit-genitkan tulisan kita pada pembaca. Nah, pada kasus Bunglon, saya tak merasa tertarik dengan judulnya (mungkin karena masalah pribadi saya dengan si binatang yang saya anggap ajaib itu). Terlebih saat saat lihat teaser posternya. Das! kata Bunglon terlihat terasing di sana. Terkesan itu adalah judul dokumenter, bukan sebuah film mengenai percintaan yang salah jalan. :) 

2. Cerita 
Masalah cinta yang diangkat di Bunglon, saya akui amat menarik. Namun terkesan terburu-buru disajikan. Saya belum mendapat rasanya (urgensi dari masalah) tiba-tiba saya sudah disodorkan dengan penutup yang membutuhkan pemahaman personal yang mendalam. Saya belum melihat mengapa si Mbak genit itu suka pada si Abang dan memutuskan untuk menikahinya, mengapa si Abang juga memutuskan untuk menikahi si Mbak genit itu padahal dia sudah memiliki si Mpok. Semuanya menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya. Ah, mungkin film pendek bukan tempat bertutur yang tepat untuk cerita ini, entahlah. :) 

3. Aktor dan Dialog
Mbak yang terlalu muda, Mpok yang terlalu sederhana, dan  Abang yang berkeringat, membuat saya tak simpati memandangi layar. Ah, cinta (apapun ceritanya) seharusnya menarik penampilannya. Dialog yang panjang yang berupaya menceritakan kisah masing-masing jadi hanya lewat saja saat saya menonton film ini. (seperti yang disarankan oleh para pemerhati film saat pemutaran Bunglon) saya juga merasa ada kekurangan akan ekspresi dalam film ini. Semua terasa begitu datar. Padahal yang dibicarakan adalah sesuatu yang kuat dan mantap. Dan pada akhirnya cerita menjadi berlalu saja. 


Nah, demikian pengalaman saya menonton Bunglon :) 
pengalaman menonton yang proses menulisnya lebih lama dibanding dengan pemutaran film itu sendiri. heheheheh 

semoga diterima dengan baik :) 

-d-