Film besutan Teddy Soeriaatmadja ini bikin saya penasaran. Setelah kagum melihat Banyu Biru (2005), saya berharap banyak pada bertajuk Ruma Maida (2009) –melihat apa yang terjadi dua film Teddy sebelumnya yaitu Badai Pasti Berlalu (2008) dan Namaku Dick (2008) yang membuat banyak teman saya menggelengkan kepala. Terlebih saat melihat nama Ayu Utami yang di sisi label penulis scenario… wiuhhh…. Penasaran pun kian menjadi.
Namun saat lampu studio dipadamkan dan cerita bergulir di depan mata, wah rasanya saya harus mengakui ucapan orang bijak yang mengingatkan bahwa pengharapan itu adalah sesuatu yang mengerikan.
Memang tidak ada (kalau boleh hiperbola sedikit—lho hiperbola kok sedikit hehehe) yang bisa menandingi Joko Anwar dalam membuat film rumit terlihat cantik di layar. Harus diakui bahwa ide dari cerita Ruma Maida itu patut diacungi jempol. Upaya riset dan ide-ide liar yang dimasukkan dalam cerita ini membuat saya membayangkan cerita absurd ini tertuang dengan cerdas di sebuah novel.
Ufff…sayangnya ini media film, bung… ada hal-hal yang tidak bisa serta merta dituangkan begitu saja pada media yang memiliki karakteristik unik ini. Hal-hal seperti pemilihan kostum, gerakan aktor, latar dan lainnya * maaf sotoy mode on * berpengaruh pada tanggapan dan pemahaman penonton. Penonton tak bisa mentah-mentah menerima realitas yang disajikan pembuat film, tanpa didukung oleh kelengkapan gambar.
Sebagai contoh kecil saya sebutkan karakter utama yaitu Maida (yang diperankan oleh si cantik Atikah Hasiholan). Maida yang disebut di situs rumamaida (www.rumamaida.com) sebagai gadis yang kikuk tak saya lihat di film. Dia –bagi saya—terlihat sebagai gadis yang terburu-buru (tanpa diberi tahu terburu-buru kenapa), pemarah (tanpa diberi penjelasan kenapa dia begitu marah), lahir di keluarga multikultur (tanpa ada alasan atau kaitan ‘kemultikulturan’ Maida terhadap jalan cerita film).
Semua ini ‘bolong-bolong’ di atas membuat dahi mengernyit. Kenapa Maida demikian, kenapa dia buka rumah singgah belajar untuk anak jalanan, kenapa skripisinya ganti, apa jurusannya di FISIP sampai dia bisa bikin analisis deskriptif *ini menurut saya, ya… * jadi feel free to correct me* dan kenapa-kenapa lainnya. Banyak pertanyaan mendasar yang membuat saya berpikir, waktu adalah sesuatu yang mewah saat film ini dibuat.
Walau tak disuguhi oleh film yang menggetarkan hati, tapi saya cukup puas bisa mendapatkan cerita yang baik * walau butuh upaya sampai rasaya mau garuk garuk aspal * tapi… ini Film Indonesia, bung… berbahagialah ada orang yang rela bikin film ‘bagus’ di tengah kondisi yang buruk!!
Ditunggu karya-karya selanjutnya, ya!