Wednesday, February 24, 2010

Apa yang sebenarnya kamu rindukan, kawan?


Lungun, begitu ujar seorang teman saya, Menurutnya hanya kata dalam bahasa ibunya itulah yang bisa mendeskripsikan luapan emosi yang ada di dadanya saat mengenang masa lalu kami.

“Itu artinya rindu yan amat mendalam,” ujarnya sambil memandang kami bertiga yang sedang asyik tertawa-tawa karena sudah lama tak jumpa.

Saya –sebagai satu-satunya perempuan dan orang yang paling rasional di antara kami berempat---hanya pikir 'halah gombal!' Sudah terlalu lama saya mengenal sosok teman saya yang satu ini, waktu telah mengajarkan saya banyak hal mengenai sosoknya yang gombal. Jadi malam itu berlanjut tanpa ada pertanyaan mengenai lungun dan semua yang berhubungan dengan kerinduan kami berempat sebagai teman dekat.

Sayang seribu sayang, kadang apa yang saya yakini dan pahami sering berbeda jalan dengan apa yang saya pikirkan dan rasakan. Kata lungun itu menghantui saya --mungkin karena dulu saya sempat belajar bahasa ibu teman saya itu untuk sebuah alasan yang benar-benar bodoh-- akhirnya saya mendapati diri menggoogle kata itu just to make sure...

dan ternyata benar saja, om google membenarkan definisi yang dilontarkan oleh bapak beranak satu itu. Sayangnya tak begitu jelas definisi yang disajikan di sana.

Beberapa saat berlalu dan sebuah kesempatan membawa saya ke bangku kayu di depan coffeewar di sebuah pagi buta. Di bangku itu duduk seorang teman yang kebetulan mengerti arti kata lungun.

“Ah, puitis sekali kawan kau itu,” ujarnya mengangkat alis. Menurut teman saya yang satu ini, kata lungun memiliki tingkat intensitas yang lebih dari arti kata rindu biasa.
Aih, benar kan apa yang saya bilang sebelumnya... teman saya ini memang manusia gombal!

Di dalam taksi, sepulang dari coffeewar, kata lungun menari-nari di kepala saya. Di tengah keremangan pagi, saya dihantui pertanyaan-pertanyaan seputar kerinduan teman baik saya itu.

“Kenapa dia begitu rindu dengan masa lalu kami?
“Apa yang bisa dirindukan dari masa lalu itu?

Apakah dia rindu masa berdendang bersama semua lagu dalam album-album yang pernah dikeluarkan oleh GNR?
Apakah dia rindu pagi-pagi buta membuat kerangka pemikiran ilmuwan-ilmuwan dunia?
Apakah dia rindu berdiskusi mengenai pertukaran keju dan roti yang dilakukan oleh dua negara besar?
Apakah dia rindu berteriak-teriak mengenai keadilan dan bagaimana masyarakat sempurna seharusnya tercipta?
Apakah dia rindu cerita-cerita bodoh mengenai cinta tak terbalas dan perempuan belahan dada indah?
Atau apakah dia rindu akan omongan bullshit mengenai impian kita menaklukkan dunia?

Apakah semua itu masih layak dirindukan?
Apakah semua itu sudah begitu jauh dari kehidupan dia sampai dia merasakan rindu yang teramat berat?

Pertanyaan demi pertanyaan membombardir kepala saya dalam perjalanan pulang.
Saya tak tahu jawabannya, karena saya tak merasakan kerinduan yang sama...

“Mungkin dia rindu masa bersama kalian dulu, det” demikian isi suara di kepala saya mencoba mendamaikan hati.

Sayang saya ndablek. Saya tak mau mendengarnya. Saya masih berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan awal.

Kenapa dia rindu pada masa lalu kami? Bukankah kami—well, atau paling tidak saya---masih  seperti yang dahulu? Tak banyak yang berubah.

Masih bodoh
Masih lugu
Masih selalu salah
Masih selalu marah

Apa yang membuatmu rindu, teman?
Saya ingin sekali menanyakan...
tapi sayang saya tak merindukan jawabannya.. karena saya yakin pada akhirnya nanti, kami berdua akan berbeda pendapat, mengenai konsep saya mengenai realita yang selalu dia sebut sebagai sebuah romantisme belaka. 

No comments: