Saturday, May 29, 2010

Warna

Saat Anda bilang kalau merah itu ungu,
saya masih tak mau mendebatnya.
Karena mungkin pantulan cahaya di mata anda berbeda dengan yang ada di saya.

Saat Anda bilang hitam itu putih,
well, sepertinya saya tak bs dengan ringan membiarkan itu berlalu begitu saja.
Karena terlalu jauh beda mata kita.

Ternyata toleransi orang ada batasnya.
Sama halnya dengan rasa sayang, rasa hormat, dan rasa percaya.

Ah, kenapa begitu yah?

Friday, May 28, 2010

Ke bulan...

Mungkin ngak ya nyasar kalau mau pergi ke bulan?

Jalannya kan tinggal terus aja kalau mau sampai di sana, bukan?

Malam ini bulan terlihat bulat di sebelah jendela pesawat yg aku tumpangi. Membuat keinginanku untuk kesana semakin menjadi.

Sekarang tinggal bagaimana caranya meminta sang pilot untuk membelokkan pesawatnya agar sampai di sana.

Atau jgn2 memang sdh ada penerbangan ke sana tp msh rahasia?

Thursday, May 27, 2010

Rindu, katanya...

"sedang di mana, mbak?" tanya seorang bapak lewat telepon.
"masih di singkawang."
"lho, kapan pulang?"
"besok sore."
"oh, begitu?"
"iya."
"o, ya sudah."
"lho kok ya udah?"
"err... Iya ya knp ya udah ya?"

dasar orang jawa yg tak tahu cara ungkapkan perasaannya! Rasanya mau ketawa kalau ngobrol sm bapak yg satu itu. Tp yg lbh lucunya lagi adalah kenyataan bhw alasan si bpk menelpon adalah krn rengekan si ibu yg ingin tahu kondisi anaknya tp malu ketahuan kalau rindu. Jadi hanya berani duduk di samping si bapak yg sedang menelpon itu.

Halah dasar orang2 jawa yg slalu py cara u menutupi rasa!

Hehe...
But i love you for that, guys! I miss you guys too. See you tomorrow nite!

*detta di hari keempat liputan*

Wednesday, May 26, 2010

Detta dan singkawang.

Siapa namamu? Tanya saya dg ringan. Perempuan itu menunduk dan hy bergumam sesuatu. Saya tertegun. Kenapa dia tak mau menyebutkan namanya.

Ada teh botol dingin? Tanya saya pd perempuan itu. Dia mengeleng, tak ada es. Saya mau mendebatnya krn hy beberapa menit yg lalu dia membawakan saya es jeruk. Ya, sudah. Es jeruknya ada? Tanya saya. Ada, jawabnya singkat dan lsg berlari ke dapur membawa pesanan saya.

Tak tau lah, jawab ibu itu dg tatapan bingung. Jawaban itu sdh berkali2 dipakai u menjawab pertanyaan sederhana saya. Setelah merelakan pertanyaan2 tak terjawab, saya mulai memotret. Tak disangka2 seorang pegawai pabrik yg tdnya santai waktu sy masuk ke tempat pembentukan tanah liat itu, berlari menghindari kamera.

Kenapa begini yah?

Knp mereka tidak dg santai bilang saya tak mengerti, tolong ulangi lagi. Atau ada ketakutan lain melihat wajah melayu saya ini?

Teringat pengalaman jalan di pecinan singapore di mana pelayan toko menunduk krn takut dipanggil oleh kami krn mereka tak bs berbhs inggris dan ada kmungkinan dideportasi kalau ketahuan.

Apakah masalah yg sy hadapi di singkawang sama dg yg di singapore?

Kalau begitu saya jd amat sangat sedih krn selalu membanggakan bangsa saya di atas negara tak berbudaya itu. Bangsa saya yg smua org didalamnya py rasa toleran dan bangga thdp kotanya, bangsanya, garis keturunannya.

Ah, siapa yg menciptakan ketakutan itu! Saya benar2 sedih melihatnya.

Senja di kota ini warnanya merah jambu, bung. Merona manja di langit berwarna biru muda. Manis seperti gulali raksasa yg mewarnai angkasa. Tak seperti senja di kotamu, bung. Semburat jingga terang menyilaukan menimpa cahaya kuning dilatari langit gelap itu memang memesona. Tapi kesannya seperti sbh ucapan perpisahan yg garang. Mungkin itu sebabnya hidup di kotamu itu terasa begitu melelahkan ya, bung? @singkawang

Saturday, May 22, 2010

Tua

"Saya sudah terlalu tua,"ujarmu sambil mengaduk kopi untuknya.
Dia hanya mengangkat satu alis matanya tanpa bertanya.

"Iya, this is my girlie moment, do you mind?" ujarmu dengan sedikit cemberut sambil menyodorkan segelas kopi kepadanya yg duduk di meja makan bersamamu itu.

"Kenapa?" tanya singkat sambil menatapmu lekat.

"Karena sepertinya sekarang temanku itu itu saja. Apakah dunia sudah kujalani semua sehingga tak ada lagi teman baru yang tersisa?" ujarmu dg frustrasi.

Dia tersenyum sambil mencoba menghitung siklus bulananmu di kepala.

"Honey, masihkah butuh orang lain, bila duniamu sudah komplit dengan adanya aku saja?"

Singkat. Padat. Jelas. Jujur.

Kamu hanya termangu.

Satu orang. Satu pilihan. Satu sesi yg disebut kehidupan.

Thursday, May 20, 2010

Thank you, again!

I believe that the greatest thing in life is people that you can call friends.

I know those people we call friends come in different size and shape.

I understand that friends aren't only those people who stay with you 24/7, but also those you share trivias with, laugh with, cry with, be happy with...

But there's one thing that i don't get about this friend thingy here.
Why am i blessed with so many of them??
Thank you! Thank you! Thank you!

 I'm kindda surprise to c many hearts reached out to me when i'm in need.
Thank you! Thank you!

*gue masih takjub dgn obrolan di ym dan email dukungan dr teman2, yg berhasil bikin saya bs melewati hari ini dg damai*

Thursday, May 13, 2010

MABUK

hanya butuh
tiga teguk

hanya butuh
tiga kecup

hanya butuh
tiga huruf

dan aku sudah
MABUK

 

Tuesday, May 11, 2010

I wanna grow old with you!

Scene #1
9.45 pm – rumah saya

“Is it too late to ask you if you want to grow old with me?”

GUBRAK…

langsung kepala saya menengok asal suara itu. Malam-malam, pulang kerja dan baru melangkahkan kaki ke ruang tengah, saya sudah disambut dengan suara perempuan yang dengan sendu mengucapkan kata-kata di atas. Walah…

Ternyata si bapak sedang dengan santai menonton film menye-menye itu di HBO (tadi saya kira ini film-film Hallmark karena tingkat kemenyeannya yang tinggi, ternyata saya salah). Secara ringkas si bapak langsung bercerita mengenai isi film itu setelah melihat saya terpana menatap layar. Menarik juga sih ceritanya. Film yang entah judulnya apa itu, menaruh seorang Kirk Cameron (do you still remember who Kirk Cameron is ?) sebagai seorang suami yang hendak bercerai dengan istrinya. Pasangan yang sudah tak rukun ini, menurut cerita itu, dipaksa untuk menahan diri selama 40 hari untuk tidak bercerai dan berusaha mencari jalan keluar. Hasil akhirnya… ternyata mereka masih mencinta .. dan gong-nya terjadi saat si istri datang ke kantor suaminya dan mengucapkan kata-kata di atas.

Owhhhhhhhh so sweeeeeettttt *menye menye mode on*

Scene #2
Ratusan tahun silam- di sebuah kota ujung dunia

“So let me do the dishes in our kitchen sink
Put you to bed if you've had too much to drink
I could be the man who grows old with you
I wanna grow old with you” --Grow Old With You-Adam Sandler

Lirik maha dahsyat itu mengganggu kepada saya. Film sederhana yang dimainkan dengan sempurna oleh Drew Barrymore menempel di kepala saya. Saat melihat film itu, saya yakin Mbak Drew adalah pewaris tahta Tante Meg Ryan di kerajaan film menye-menye.

Selain mendapat terawangan mengenai Mbak Drew, konsep tumbuh menjadi tua bersama seseorang –yang ditawarkan oleh film ini—menjadi sesuatu yang membuat saya penasaran? (selain penasaran saya juga merasa bahwa konsep ini amat sangat romantis.)

Orang seperti apa yang bisa menjadi tua bersama saya yah? Pemikiran itu sempat terlintas di kepala saya pada masa itu.

Scene #3
Beberapa hari yang lalu—kamar ibu

“Gendari adalah perempuan yang dipersiapkan sebagai istri Pandu, namun oleh Pandu, perempuan cantik ini dipersembahkan pada Destarata, kakaknya, untuk diperistri. Gendari menurut dan menikah dengan Destarata yang buta. Karena suaminya buta, Gendari merasa dia harus ikut mengalami hal yang sama agar lebih bisa memahami suaminya. Maka dari sejak itu, Gendari menutup matanya agar dia sama dengan suaminya : buta.”


Scene #4
10.45 pm –di atas kasur di kamar

Tak bisa tidur memikirkan mengenai konsep grow old.

Kadang memang ada hal-hal yang berhasil menawan kepala saya sehingga tak memperbolehkan tubuh saya beristirahat sebelum menuliskan semua secara tuntas.

Tumbuh dan menjadi tua bersama –menurut saya—menunjukkan adanya proses yang terus menerus, di mana dalam proses itu dua/tiga/lebih dari orang itu mengalami pengalaman yang sama, pemahaman yang sama dan pada akhirnya menemukan sebuah pemikiran yang sama.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin lama seorang pasangan hidup bersama, semakin mirip wajah mereka berdua. Secara ilmiah ini dibuktikan karena ternyata orang yang sering bersamaan –secara tak sengaja—akan meniru gerakan dari pasangannya. Misalnya lebar senyum sampai cara berdiri. Begitulah bayangan saya mengenai konsep menjadi tua bersama.

FLASHBACK
Dulu, saya pernah menulis mengenai ketakutan saya berpisah dengan seorang sahabat. Pada waktu itu saya yakin bahwa persahabatan kami akan berakhir pada saat kami berpisah. Karena apa? Karena –menurut saya—pengalaman yang akan dialaminya dan pengalaman yang akan dialami oleh saya akan berbeda, yang pada akhirnya membuat kami tak lagi bisa memahami satu sama lain. Pengalaman berbeda akan menciptakan manusia berbeda yang tak lagi bisa disatukan.

RECENT TIME
Ternyata pemikiran saya mengenai hal yang di atas benar. Orang tak bisa menjadi tua bersama bila mereka tak saling berdampingan hidupnya.

PERTANYAAN YANG TERLINTAS SAAT MATA SUDAH MENGANTUK
Jadi apakah seharusnya semua orang menjadi Gendari, yang memaksakan diri untuk merasakan kondisi suaminya agar bisa menjadi tua bersama dalam penuh harmony?

Tiba-tiba teringat ucapan seorang teman

Scene #5
7pm—Cinere di sebuah acara makan-makan

“Huh? Eh, itu masih jadi masalah ya, buat lo? Halah! Udah hajar aja! Ngak perlu yang gitu-gitu dipikirin!” *this quote is taken out of context but it is relevant to this story*

Crap!

Mengapa di tengah hiruk pikuk pikiran ini, masih saja terdengar suara-suara teman-teman sendiri menertawakan yah?

Yah, mungkin memang sudah saatnya untuk tidur!

G’nite, y’all


Wednesday, May 05, 2010

MEN ARE...

“Aku itu anak tunggal dari Mamaku, tapi kalau dari Papaku, aku itu anaknya yang ke-12.” Whatttt? Sore-sore, sehabis hujan, di sebuah dapur kopi yang amat nyaman, saya mendapati diri saya ternganga mendengar sebuah cerita dari seorang teman. “Yah, duabelas itu yang ketahuan yah, nggak tahu berapa pastinya,” lanjut lelaki berlesung pipit itu dengan ringan. Saya, masih dalam kondisi awal saat dia bercerita, tetap ternganga…

Hal pertama yang terlintas di kepala saya saat mendengar cerita itu adalah, “Oh, my.. I so understand why all those women fell over him.”

Saya mengerti bangetzzz, Papa yang disebut oleh teman saya itu adalah seorang lelaki yang suaranya –menurut pendapat saya pribadi—bikin hati meleleh. Pernah sekali waktu saya menyadari bahwa saya tidak lagi mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh lelaki gagah itu, karena terlena mendengar suaranya saja. *and that my friend is not a lie*  jadi saya benar-benar mengerti kenapa banyak perempuan jatuh hati. *sigh *
Hal yang kedua adalah, “kenapa bisa sebanyak itu?”

Berbeda dengan yang di atas, saya tak mengerti bagaimana lelaki (mengagumkan) itu bisa punya anak sedemikian banyak (err… well, I know how… but how could he? Well, you know what I mean, right?) Apa yang terlintas di kepalanya saat dia berganti pasangan dan mendapatkan anak dari pasangan-pasangannya. Kenapa bisa begitu banyak? Tidakkah dia tahu bahwa 12 itu sudah banyak sekali? Mengapa dia tak berhenti di angka, err.. empat misalnya? Bagaimana dia memilihnya? apa yang dirasakan olehnya?

Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu tak saya temukan jadi akhirnya membuat saya penasaran.

Laki-laki memang makhluk yang menarik. Tak seperti perempuan, lelaki itu benar-benar sosok yang bikin saya penasaran. Ini salah satu alasan mengapa saya yakin bahwa saya adalah seorang heteroseksual dan suka heran mengapa ada beberapa orang yang berpikir bahwa saya adalah sebaliknya (terjemahan bebas dari … many think otherwise, huh kenapa ndak bisa mikirnya dalam bahasa Indonesia yah gue saat ini… halah biarlah saja .. kalian ngertikan maksudnya *sorry excuse for a writer I am*)
Lelaki itu seperti menyimpan sebuah rahasia di kepalanya. Parahnya, setiap kepala menyimpan rahasia berbeda. Terutama bila sudah berurusan dengan rasa yang ada di dada.

Sekali waktu ada seorang teman yang malu-malu (padahal sumpah mampus dia tidak cocok dengan gaya malu-malu itu) bercerita mengenai bagaimana dia jatuh cinta.
“Gue jatuh cinta, det. Gue yakin she’s the one saat dia memesan jenis minuman yang sama dengan mantan gue. Itu petanda, det”

Ok, baiklah if you say so.

Curhat itu bikin saya penasaran. Buktinya bahwa saya penasaran? Well, kejadian ini terjadi sekitar 12 tahun yang lalu, dan saya masih mengingatnya dengan jelas *errr..well, ndak jelas-jelas amat sih karena sepertinya dulu temen saya itu memberi tahu saya tentang jenis minuman yang dipesan perempuan itu*

Baiklah kita komparasi. Seorang sahabat (hahaha.. karena sahabat perempuan saya bisa dihitung dengan jari di satu tangan  yah, maaf ya… kalo ada yang tahu siapa Anda.. eniwei) pernah bercerita mengenai bagaimana dia jatuh cinta.

“Gue tahu he’s the one saat kami mau pulang dan ban mobil kempes. Di parkiran itu dia ganti ban sendirian. Sambil mengganti ban, dia kerap menengok keadaan saya dan beberapa kali berkata, ‘ngak papa kok, sebentar lagi akan beres. We’ll be fine.’ Saat itu gue yakin gue akan berjalan ke altar bareng dia”  ---hoho keren yah *ngaku deh bahasanya di poles dikit karena sahabat gue ini ndak mungkin semenye-menye ini hehehe*

This story I can relate to. Maksud saya, saat Anda melihat lelaki dengan peluh dan membereskan sesuatu, yah.. jelas itu terlihat keren bukan? Anda bisa membayangkan bagaimana kehidupan Anda dan dia di masa depan nanti. Tapi saat Anda jatuh cinta karena segelas minuman dan kenangan terpendam. Well, I gotta ask why, rite?

Er… mungkin contoh di atas bukan contoh yang baik untuk menjadi illustrasi betapa saya tak mengerti cara berpikir lelaki. Well, contoh berikut mungkin bisa lebih jelas *maaf yak arena ini adalah blog pribadi, saya enggan meng-edit besar-besaran apa yang sudah saya tulis, jadi bagian atas STAYS –maaf untuk ketidaknyamanannya*

Sebuah mix-up pernah terjadi dalam hidup saya yang (mungkin) cocok sekali untuk dijadikan sebagai contoh kasus disini. 

Di suatu hari nan indah di sudut ujung bumi, saya baru mengetahui bahwa seorang teman baik saya berulang tahun……. SEHARI SEBELUM!!! *bagi yang kenal baik dengan saya, pasti tahu bahwa I’m not big on bday and tend to forget it * jadi seperti biasa –sama seperti kasus2 ulang tahun teman-teman yang lain—saya kelimpungan mencari hadiah untuk menebus kealpaan saya coz I know sobat gue yang satu ini orangnya ultra sensitif (sepertinya anak-anak lain sudah memberi ucapan dan lupa memberi tahu saya–yang kebetulan sedang juggling waktu antara dua kampus)

Karena bingung, yah saya mencari jalan yang termudah saja. Karena waktu itu saya sedang belajar motret, saya punya stok foto dia… satu saya cetak, beri figura.. dan jadilah kado….Hohoho.. cerdas bukan? *well, I thought so at the time* Nah, karena saya ndak suka sama yang namanya wrapping papers, saya menggantikannya dengan bunga mawar putih. Sederhana saja, saya memang suka beli bunga, jadi hal pertama yang terlintas adalah beli bunga. Selesai masalah.

Nah, ternyata saya salah.

Ribuan bulan kemudian (saya lupa tepatnya berapa jarak antara ulang tahun saya dan dia—tapi yang pasti jauh sekali) .. tibalah waktunya saat saya ulang tahun… saya lupa apa yang saya lakukan dengan teman-teman saya waktu itu… tapi sepertinya seru sekali *yeah rite, det.. seru sekali kok bisa sampe lupa? hehehe* dan tiba2 sahabat saya yang berulang tahun ribuan bulan lalu itu memberi saya setangkai mawar putih.

Aih, mati ngak sih lo! In de middle of a freaking nite, in de middle of nowhere, you got this guy giving you a white rose. If it were a movie, I could see the first snow falls and a violin playing. Hahaha… but is not… 

So days after that I kept thinking, what is wrong here? What should I make of this? I thought long and hard. Suddenly I gave in. I asked!

Penjelasan sahabat saya itu, bikin saya bingung mau ketawa atau ngemplang kepala saya sendiri karena saya bodoh.

“Bunga itu gue kasih karena lo juga ngasih gue bunga,” jelas dia sambil menatap saya.
“Bunga mana?” Tanya gue bingung.
“Bunga waktu ulang tahun?”
“Huh? Ulang tahun lo gue ngasih foto kok,” jawab saya santai dan tiba-tiba it hits me. It hits me real hard. I gave him flowers. It was suppose to be a substitute for a gift wrap, but it is still a flower, and he mistook it.

Untuk beberapa lama dia –sepertinya—sempat berpikir bahwa I had a thing for him, dan bodohnya untuk beberapa hari saya juga berpikir demikian. Hanya karena pemaknaan yang berbeda mengenai sesuatu yang sederhana. Halah! Why didn’t he say something? It will save him from all the misery he felt of not knowing…
Lalu saya berpikir lagi, Yah… iya kalau dia pakai mikir….

Tapi—at the time it was weird enough knowing that that just happened jadi saya tak mau membahasnya lebih lanjut.

Mixed up di atas –yang cuma cuplikan kecil dari mixed up-mixed up lain yang terjadi dalam hidup saya—yang membuktikan bahwa saya bukan pengamat lelaki yang baik. Cara berpikir mereka itu benar-benar berada di luar nalar saya . It’s funny though, karena saya kebanyakan berteman dengan mereka. Tetap saja, all these years still confused as hell… hehehe…

Mungkin hal itu yang terus membuat mereka jadi menarik di mata saya yah, well hehehe… tapi kadang yah, kadang saya ingin sekali bisa menyelam di sel-sel kelabu mereka dan tahu secara tepat proses yang terjadi di kepala itu dan akhirnya mengerti mengapa hasil akhir yang keluar adalah demikian. Mmmm…. Seperti Papa ganteng-nya teman saya di atas. Wah .. if I could pick his brain out… Oh, what a story to tell ain’t it?

*punten banget atas bahasa cendol di atas, tulisan ini memang dimaksudkan untuk belepotan bahasanya untuk menunjukkan kelabilan penulis saat menuliskan karyanya ini * tapi tetap, enjoy guys!

Eh, oh ya... saya harus mengatakan ini... sebenarnya ada rasa keengganan untuk berbagi cerita pribadi saya ini (karena belakangan ini saya sedang tak py teman baik untuk diajak ngobrol – masalah ruang waktu dan kesempatan—maka saya tumpahkan saja di blog ). Well, yang membuat saya enggan sebenarnya adalah cerita ini adalah cerita pribadi saya dan teman-teman dekat saya... merasa agak sedikit melanggar privasi sih, tp come to think of it,, ini kan cerita kami berdua (atau bertiga atau berempat) jadi saya jg py hak yang sama atas cerita itu, bukan? Well... kalau ada yang mau protes ... kirim email aja ya, guys... biar bisa dicari jalan tengah.. :)

Sentimental

Sometimes, when one person is missing, the whole world seems depopulated.  ~Lamartine

kadang suka penasaran kenapa ada orang-orang yang bisa membaca pikiran saya dan menuliskannya dengan tepat, seperti lelaki yang bernama 
Alphonse Marie Louis de Prat de Lamartine di atas.

padahal penulis, penyair dan politisi asal Prancis yang hidup pada 1790-1869 ini belum pernah bertemu dengan saya sebelumnya? atau sudahkah?



Tuesday, May 04, 2010

Hadooh!

Knp blakangan ini smua salah.
Pikiran ngak fokus,
menulis rasanya malas,
senyum saja rasanya ogah!
Arrgh wats wrong with me?
Oh wait, salah...
Wats wrong with the world sih?
Jadwal sdh tersusun rapi,
kerangka sudah terbuat dari tadi.
Tapi kenapa ada rasa yg menggelendot dan tak mau pergi?
Sebel!
Saya tak suka ini!
Maunya tidur saja sampai bulan berganti,
ah tapi itu tak mungkin,
saya kan takut sepi.

Monday, May 03, 2010

Playing Favorites

Dari kecil saya gampang banget cemburu. Cemburunya sih ngak pernah jauh-jauh, cuma sama si gendut--adik saya. Dan rasa itu ndak pernah hilang sampai sekarang. Sepertinya (menurut opini saya pribadi) bapak-ibu (dari dulu sampai sekarang) lebih sayang pada gendut daripada sama saya (hiks)... semua diperbolehkan kalau sudah berurusan sama si gendut... kalo menyangkut saya ... semua ada papan larangan besar-besar dan kalau akhirnya diperbolehkan itu karena saya merayu habis-habisan... :) *ini akibat bila Anda tidak memiliki kemampuan berbohong, maka merayu menjadi senjata utama untuk menghadapi orang tua hohoho!*

Untung (mmm... kalo boleh dibilang demikian yah) keluarga saya memperbolehkan (eh apa terpaksa ya?) kita untuk bebas mengeluarkan pendapat di rumah, jadi sudah bukan barang baru lagi kalau tiba-tiba di rumah terdengar suara saya berkata, ”Telah terjadi ketidakadilan dalam distribusi kasih sayang di rumah ini!!!”

Sayangnya (eh atau untungnya ya?), kebebasan berpendapat itu seperti pisau bermata dua (it can go both ways maksudnya) jadi tiap kali ada omongan saya mengenai ketidakadilan distribusi kasih sayang ini, ibu saya –dengan santainya-- pasti bilang, “iya, memang begitu adanya... Memang ndak boleh ya, ibu lebih sayang ke adik dibanding ke kamu... Memang kamu pikir kamu adalah anak mudah untuk disayang? Di rumah aja jarang! ”

Crap!!! sebel gue dengernya.... harus diakui memang saya jarang sekali berada di rumah, dari masih piyik di Yogya sampai pindah ke Jakarta, kerjaan saya memang ngeluyur kemana-mana. :) mulai naik sepeda ke Kali Code, main layangan di sebelah rel kereta Cakung, sampai kuliah di Bandung dan sekarang hobinya lembur dan pulang pagi hohoho... *kata orang pintar ini ada hubungannnya dengan tahi lalat yang ada di telapak kaki kanan saya hohoho*

Anyway, my mom just hit the right button there ... hohoho... semua orang punya hak untuk memilih siapa yang dia cintai atau tidak... tapi rasanya ndak enak banget kalau sampai tahu bahwa Anda lah orang yang tak terpilih itu... :(

Memang masalah distribusi kasih sayang di rumah masih belum beres tapi sekarang karena saya sudah besar (understatement of d' century) jadi masalah itu tak begitu mengganggu (kecuali di saat saat lagi sakit dan sebel karena cuma di suruh ke dokter tanpa disayang-sayang kaya kalo gendut lagi sakit *huh sebel* )

Kenapa tiba-tiba saya cerita soal ini? Well, karena beberapa waktu yang lalu ada yang curhat sama saya. *HOHO I luv curhat!* dia bilang bahwa di kantornya ada orang-orang yang menerima privilege karena mereka anak kesayangan atasan. “Padahal, menurut gue, kerja mereka ndak bagus-bagus amat, lho,” ungkap teman saya itu.

Bagi orang seperti saya yang menganggap rasa adalah segalanya...pernyataan teman saya ini membuat saya sedih. Waduh, pasti ngak enak banget kerja di tempatnya itu! Melihat di depan mata ada orang yang lebih di'sayang' di kantor itu pasti amat sangat menyakitkan... gokil bisa frustrasi saya kalau kerja di sana.

jadi bagaimana solusinya untuk favoritism (is this a word?) di kantor? Cuekin aja? Keluar atau bagaimana?

Temen saya akhirnya memilih opsi yang kedua. Menurut dia, aksi pilih kasih selain menimbulkan rasa iri jg mengakibatkan tumpukan kerjaan direlokasi ke meja dia... :( dan akhirnya membuat hasil kerjanya semakin tak sempurna...

melihat ini, saya berada dipersimpangan. Maksudnya, di satu sisi saya sangat percaya pada kebebasan orang untuk menyukai atau tidak menyukai seseorang, tapi saya juga percaya pada hak untuk menerima perlakuan sama dan sederajat.

Huh!
Menjadi dewasa itu memang berat rasanya... waktu saya masih kecil dan merasa diperlakukan tidak adil karena ibu pilih kasih... yah, paling-paling ngabur ke lapangan belakang komplek naik pohon baca buku lalu sejam kemudian balik udah lupa sama masalahnya... bisa ngak ya sekarang kita begitu?

Kayanya yang paling bener di sini adalah Peter Pan, deh!
“I'll never grow up, never grow up, never grow up! Not me!"