Wednesday, September 29, 2010

Tua

Ky cuma elo aja yg bs dg seenaknya gondrong di umur sesenja ini dan tetep terlihat menawan!
Is it ok for me to drool a bit, honey. Promise 2morow i'll act normal again. This is just a one time deal. Promise.

Monday, September 20, 2010

10 pm without you

Kamu
bikin aku ingin bercerita melulu!
Kamu
bikin aku ingin merindu!
Kamu
bikin aku ingin
sendiri dulu.

Karena hanya dengan itu kita bisa -akhirnya- bertemu.

Thursday, September 16, 2010

just me being stupid, pissed off and lost a friend... (i think)

don't want to be a party pooper here, but is it really enough?

moving but getting no where is just a waste of energy. Screaming to action but gets no where is justifying the need to stand out.

what is hope really mean? does change really happens? you show me reaction, then i'll believe what you are doing is action!

how do we deal with problems? by facing it, not by parading... parades are for beauty queens and politicians

we've been tiptoeing around problems for too long. lets be a man and face the bloody thing in the face and get everything straight!

lost respect lost hope lost everything except life, been victimize for far too long, do really want to ask respect from me?

in some point in life, you really have to surrender and believe all the lies just to stay sane...but, i haven't reach that point yet..

then they all slowly fade away weary of the fight, a man is meant to roam alone coz never i see two heads that hold one meaning.

i can't say sorry, because i'm not. 
i'm not dwarfing your thoughts and hope 
is just i'm tired of being sitting in the hope wagon and finding out that that there's no hope, there never were.... 

if there's a need to utter sorry, it's only because... 
it was you at the other side of the war
and for that i am sorry... 

*
sayasedihsekalinampaknyamalamini  

Friday, September 10, 2010

Kebetulan Kosmik #2 : Rolling Stones, Music and all that jazz

I can't get no satisfaction, I can't get no satisfaction.

'Cause I try and I try and I try and I try.

I can't get no, I can't get no. 


Lagu di atas berjudul (I can't get no) SATISFACTION (1965) dari Rolling Stones --sebuah band ROCK berasal dari Inggris yang dibentuk pada 1962.  Band yang namanya diambil dari salah satu lagu dari Muddy Waters (Bapaknya Blues) yaitu Rollin' Stones (1950) ini masih alive and kicking sampai saat ini *hail to Keith Richards yang masih terlihat sexy di mata saya sampai saat ini* 

Apa yang spesial dari lagu di atas? Well, selain kenyataan bahwa lagu di atas adalah lagu pertama Rolling Stones yang berhasil mencapai posisi nomor 1 di kancah internasional (a.ka. Amerika Serikat), proses pembuatan lagu ini juga amat menarik untuk disimak. Berikut kisahnya: 

Pada bulan Juni 1965, Rolling Stones sedang melakukan tur ketiga mereka di Amerika Serikat. Tepatnya pada tanggal 5, mereka bermain di Jack Russell Stadium , Florida. Konser Stones menjadi rusuh ketika 200 perempuan terlibat pertikaian dengan polisi yang bertugas menjaga keamanan konser tersebut, padahal Stones baru memainkan empat lagu saja!! 

Malam itu, Keith Richards pulang ke hotelnya untuk tidur setelah lelah bermain sebagai rockstar. Saat tidur, tak sengaja dia menekan tombol 'record' di alat perekam dekat tempat tidurnya. "Saya tak ingat bahwa saya telah menekan tombol itu," ujar Pak Richards dalam sebuah wawancara, "yang saya tahu adalah saat saya bangun ada dua menit nada dan kata 'I can't get no satisfaction' yang saya nyanyikan dan 40 menit sisanya adalah bunyi dengkuran saya." 

Nada yang di 'humming' oleh Richards itu menjadi riff ( a repeated chord progression, pattern, refrain or melodic figure, often played by the rhythm section instruments or solo instrument, that forms the basis or accompaniment of a musical composition (liat di wikipedia)--atau secara sederhana  barisan nada yang diulang-ulang dalam sebuah lagu dan menjadi dasar lagu tersebut-- ) untuk lagu Satisfaction di atas. Three note guitar riff milik Richards yang didapatnya saat tidur itu menjadi pembuka dan yang men-drive seluruh lagu tersebut. 

*merinding disko* 

Apa yang terjadi pada Pak Richards, kerap terjadi di dunia musik. Ada deretan lagu canggih yang tercipta secara tak sengaja. Ini sebabnya --menurut teman saya-- musik itu sifatnya ilahi. *Didengar pada pukul 2 dini hari di perjalanan sepi dari kemang menuju cinere* 

Apakah sebuah kebetulan malam itu Pak Richards memutuskan untuk tidur (sendirian.. xixixixi)?

Apakah sebuah kebetulan malam itu Pak Richards bangun dan menyalakan tape recordernya?

Ataukah memang ada tangan-tangan tak terlihat yang mengatur hidup ini tanpa kita sadari? (cool ngak tuh kalimat gue, oh ya, tangan-tangan terlihat di ambil dari invisible hands-nya Adam Smith yang membahas bahwa adanya kekuatan tak terlihat yang mengatur jalannya sebuah pasar) 

Balik lagi ke Pak Richards dan two minutes of Satisfaction-nya. 

Saat memberi memberikan ide lagu ini ke Jagger, Pak Richards khawatir kalau-kalau musik ini terdengar mirip dengan lagu Dancing in the Street-nya Martha and the Vandellas. Tapi menurut Jagger, music tersebut lebih mirip dengan lagu folk yang pernah mereka buat bersama namun akhirnya tak digubris oleh Richards karena menurutnya lagu tersebut terlalu sederhana. 

Kebetulankah?

Bagi orang realis (kalau mau menyebut kebetulan kosmik itu surreal) tentunya semua ini bisa dijelaskan secara logis, yaitu dengan menyatakan bahwa ide Satisfaction sudah ada di kepala Pak Richards dan sudah saatnya saja untuk dikeluarkan. 

Tapi bagi pemimpi seperti saya, kenyataan ini membuat hidup itu menjadi begitu indah (:p) Adanya kebetulan kosmik yang terjadi di luar kuasa kita, selain membuat ketakutan setengah mati karena ternyata tidak adanya kesempatan untuk bersiap dan membuat jadwal, juga membuat sebuah harapan dan impian itu sah adanya. Impian-impian besar mengenai bisa terbang dan bermalas-malasan di bawah pohon di pinggir sebuah danau sambil menulis, menjadi sebuah kemungkinan dalam hidup ini. 

Ah, Pak Richards *yang ganteng banget dalam iklannya Louis Vuitton* terima kasih atas ceritanya, yah! 



____

catatan kecil saya mengenai sesuatu di luar tulisan di atas 

PS. Kenapa saya tulis ..and all that jazz sebagai judul? 

karena kemarin saya menonton film dan sempat membaca subtitlesnya menjelaskan "and all that jazz" sebagai "dan semua jazz itu" padahal mereka sedang membahas sebuah pembunuhan... (sigh) 

all that jazz itu adalah sebuah kiasan yang berarti "semua yang berhubungan dengan hal tersebut" 

contoh: I need glue, paper, strings and all that jazz to make a kite. :) 

saya merasa kesalahan ini sangat ironis, karena orang Indonesia itu sangat dekat dengan kiasan "and all that jazz," mengapa saat menerjemahkan mereka jadi begitu berjarak dengan struktur bahasanya sendiri (?) 

ah, tapi tak mengapa, I do still love Indonesian and all that jazz :) 

Wednesday, September 08, 2010

Kebetulan Kosmik #1 : dalam tiga babak

Belakangan ini saya sedang merasa dihantui oleh sarkasme seorang teman. Awalnya saya kira itu hanya sebuah gurauan belaka. Namun karena kerap, saya mulai merasa curiga ada sesuatu dibelakanganya.Tapi karena saya menganggap (atau lebih tepatnya berharap) dia adalah seorang teman, maka saya tak pernah berasumsi bahwa dia bermaksud menghina saya. Atas dasar itu, maka terakhir kali saya mendengar dia melontarkan sarkasem itu lagi, saya mulai memikirkannya secara mendalam. 

Awal ceritanya sebenarnya sederhana saja. Pada sebuah obrolan santai ditemani cappuccino dan .. (arghh saya lupa saya minum apa), saya mendapati diri saya bercerita dengan lancar mengenai bagaimana saya merasa bahwa banyak sekali orang yang tak ingin punya label pintar. Orang (terutama perempuan) kadang menolak label tersebut karena merasa tanda itu membatasinya dalam berkehidupan sosial. Siapa yang mau berteman dengan seorang smart ass? 

Sebagai mantan pengajar bahasa inggris untuk anak SMP dan SMA, hal ini kerap saya temukan di ruang kelas. Semua enggan menjawab pertanyaan dan pura-pura (errr.. atau beneran yah) tak peduli. Frustrasi berat kalau sudah begini, sulit sekali membuat mereka membuka mulut untuk menjawab --padahal saya yakin mereka tahu jawabannya. Pertama saya pikir mereka sungkan atau takut salah, namun lambat lan terlihat jelas di mata. Kelas saya selalu terbagi menjadi dua. Anak-anak yang pintar dan selalu antusias duduk di depan meja guru sedang yang asyik-keren-gemar menyeletuk lutju duduk di sudut-sudut tertawa-tawa sendiri. *ruang kelas terdiri dari dua baris memanjang dari kiri ke kanan sehingga yang terjauh dari meja saya adalah dua sudut itu* 

Karena pengalaman itu, saya merasa harus menyatakan bahwa it's cool being smart and wanted to know everything. Jadi pintar tak serta merta membuat Anda terlembar dari golongan orang-orang menyenangkan dan santai. Jadi pintar itu hanya berarti menggunakan logika dalam hidup. Sederhana. Jadi untuk apa takut jadi pintar atau merasa malu berupaya untuk menjadi lebih pintar? 

Saat bercerita dengan berapi-api, teman saya hanya menanggapi dengan dingin. Mmmm... mungkin dingin hanya asumsi, karena sejujurnya kami tak terlalu dekat sebelumnya, jadi saya tak mengenali ekspresi-ekspresi wajanya. 

Setelah sesi pemaparan mengenai konsep pintar berlalu, kami bercakap-cakap mengenai hal yang lain. Tiba-tiba dia menyeletuk, "Lo sangat terobsesi dengan PINTAR ya?" 

Entah mengapa, saya merasa ucapannya seperti sebuah tuduhan kejahatan. Saya terpana. Tapi karena dia tak melanjutkan ucapannya, saya memutuskan menyimpan komentar itu di kepala. 

Waktu berlalu dan hari berganti dan komentar-komentar teman saya yang bersinggungan dengan kekaguman saya terhadap konsep pintar pun menjadi. Lama-lama saya jadi gerah sendiri. 

Kalau boleh dianalogikan dengan sebuah kasus pembunuhan, saya sudah tahu siapa pembunuhnya, tapi bukti-bukti belum cukup untuk menyeretnya ke pengadilan. Saya ingin marah, tapi belum tahu kenapa. Saya TAHU (atau paling tidak merasa tahu) bahwa teman saya ini sedang menyindir, tapi belum tahu mengapa dan apa tujuannya.... 

Saya tahu bawa bila saya nekad bertanya, pasti hanya dijawab dengan dua bahunya yang terangkat dan ucapan, "What are you talking about, det?" 

ah, and if I heard those word, I would (then) loose it! =) 

Jadi semua itu kembali saya simpan di kepala dan berjanji bila bukti-bukti sudah kuat, saya akan menjejerkan semua itu di depannya dan meminta pertanggungan jawab atas semua ucapannya. 

END OF PART ONE

Suatu hari yang amat terasa sepi, saya bertemu dan ngobrol dengan teman saya yang satu itu lagi. Hari itu giliran dia yang banyak bicara (dan saya banyak tanya <<<< kapan sih gue diem-nya? hehehe)

Obrolan kami malam itu berkisar mengenai konsep keinginan. Pada hari naas itu, saya sedang berada dalam persimpangan hidup (taelah) dan perlu mengambil keputusan mengenai apa yang menjadi keinginan saya. Teman saya itu kemudian memutuskan untuk menjelaskan mengenai konsep "Keinginan Hati Yang Teratur."  Sebuah pembahasan yang amat sangat panjang.... yang hanya bisa saya serap sedikit demi sedikit saja. Obrolan ini diakhiri dengan inisiatifnya untuk mengirimkan berbundel-bundel (hehehe ngak ding link website sebenarnya, tp ah, saya suka dengan kata bundel jadi saya pakai yah) tulisan mengenai topik pembicaraan kami sebagai bahan perenungan (keren yah kata ini =) ) 

Bacaan dan obrolan dengannya pada saat itu hanya tersimpan di kepala saja, tak ada waktu untuk merenunginya (ciee... i really really luv this word) jadi tak ada bahasan lanjutan.  

END OF PART TWO 

Beberapa bulan lewat dari dua kejadian di atas. Waktunya saya untuk membereskan lemari buku saya yang sudah amat sangat berantakan. Banyak kertas yang harus dibuang dan buku yang harus dipisahkan. Seperti biasa, kegiatan itu pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Kenapa? karena setiap kali membereskan lemari buku, saya kadang tak hanya merapikan buku-buku itu, tapi kadang secara tidak sengaja, ikut membaca buku-buku yang menarik mata. Hehehe.. jadi tak selesai-selesai pekerjaannya. 

Hari itu, saya menemukan tumpukan buku milik Bapak-Ibu yang dengan tidak hormat diselipkan di lemari saya... Arghhhh.... saat saya memikirkan bagaimana membereskannya, saya menemukan sebuah buku hitam yang menarik hati. Sebuah buku panduan untuk hidup lebih baik (berbeda dengan saya, sepertinya orang tua saya gemar membaca hal-hal seperti ini). 

Saat membukanya saya tiba-tiba tertumbuk pada halaman yang di mana tertulis : 

Hal Keinginan Hati Yang Teratur 
eittssss, this is what my friend was talking about, begitu pikiran yang terlintas di kepala saya. Kemudian ada tulisan " Orang yang sombong dan yang kikir tidak pernah tentram hatinya" 

Lho, kok bagian mengenai kesombongan sih? Apa hubungannya keinginan hati dan kesombongan? Karena penasaran saya membuka halaman daftar isi dan menemukan ada bagian yang membahas mengenai 'Rasa Rendah Hati'

"Mereka yang banyak pengetahuannya biasanya suka menjadi orang terkenal dan disebut orang pandai." 

DENG DENG DENG 

seperti tendangan tanpa bayangan yang sekonyong konyong datang dari balik pepohonan (kebetulan beberapa saat sebelumnya saya menemukan tumpukan S. Kho Ping Ho lawas di lemari buku =) ) 

gedubrak!!!! 

tiba-tiba teringat semua sindiran teman saya mengenai konsep kepintaran. Aih, so this is where i got it all wrong. Ada pemikiran bahwa orang pintar adalah orang sombong. Saya tak pernah menyadari itu. Orang pintar di kepala saya adalah orang-orang yang cukup cerdas untuk mengetahui bahwa kesombongan adalah awal dari kehancuran. 

Saya terus membaca: 
"Hendaklah kita membuang segala keinginan akan pengetahuan yang melampaui batas, karena hal itu hanya menimbulkan banyak kebingungan dan kekecewaan saja" 

Aih, mateee deh.... 
semua ini mengobrak abrik pemikiran saya mengenai kepintaran. Ternyata benar adanya bahwa ignorance is bliss... ketidakpedulian adalah berkah. 

Pengetahuan, kepintaran dan segala hal itu hanya membuat kepala menjadi lebih berat saja. Hidup jadi tak nyaman karena ada keinginan untuk terus mencari dan mencari.

Tiba-tiba it dawn to me (ndak tahu bahasa Indonesianya) that sindiran teman saya itu, bukan sebuah upaya untuk menghina saya. Ini hanya satu cara saja untuk menyederhanakan gudang di kepala saya yang dipenuhi keinginan-keinginan yang tak jelas dan berantakan. 

Ya ampyun!!!! 

Saya tak menyangka (mungkin dia juga tak menduga yah) bahwa obrolan kami, pertemuan kami dan kejadian dalam hidup saya terkait dalam kebetulan kosmik yang mencengangkan (errr... ini penekanan yang tak perlu karena kebetulan kosmik selalu mencengangkan) 

END OF PART THREE 

HAPPY =) 

Monday, September 06, 2010

Clapton is GOD

Beberapa saat lalu, saat menikmati hari-hari santai di Cinere, saya menonton sebuah acara dokumenter musik yang mengupas tuntas sejarah ROCK! Hohohoho.... karena menonton acara itu bersama dua musisi ---yang kebetulan empunya rumah yang saya inapi selama beberapa hari itu-- menontonnya diselipi dengan acara diskusi yang amat sangat menyenangkan (thx, guys!)

well, eniwei... 

Dalam pembahasan dokumenter itu kemudian muncullah nama Eric Clapton. Pembahasan bapak yang satu ini dimulai dengan band pertamanya yaitu The Yardbirds (1963). Cerita menarik mengenai band ini --bagi saya--  adalah alasan mengapa Clapton keluar dari band ini. Pada 1965, saat band ini merilis major hit-nya yaitu "For Your Love", Clapton hengkang. Alasannya? Dia merasa band tersebut sudah tak setia pada blues yang mendasari keberadaan band tersebut. 

Wohooooo! saya mengacungkan jempol!!! 

Bukan karena idealisme Clapton yang tak menyukai pop, tapi karena keberanian Clapton untuk meninggalkan teman-temannya untuk mengikuti suara hatinya. Membentuk band itu bukan sekedar menggabungkan beberapa orang yang bisa bermain musik, tapi lebih pada menggabungkan orang-orang yang bisa nyaman bermain bersama. Kenyamanan untuk bermain bersama itulah intinya bermain dalam sebuah band. "Kalau nggak mau begitu, mending lo jadi soloist aja deh, ngak usah nge-band!" ujar seorang teman beberapa tahun yang lalu mengenai band-nya yang sedang berada di ambang kebubaran. Jadi, Clapton tak hanya mengejar suara hatinya, tapi dalam proses itu meninggalkan kenyamanan hidup bersama teman-temannya. Tak banyak orang berani melakukan hal itu, bukan? 

Pada masa keluarnya Clapton dari The Yardbirds ini muncullah graffiti-graffiti di dinding-dinding kota London yang berbunyi "CLAPTON IS GOD" 

Saya terhenyak. Ada sekumpulan orang yang menganggap Clapton itu tuhan. Orang-orang ini tak menuliskan kata 'clapton is my god' atau 'clapton is our god' untuk menandakan kepemilikan. Mereka menuliskan CLAPTON IS GOD. Sebuah pernyataan yang menandakan kebenaran yang umum sifatnya (general truth). Dahsyat! 
 
Cerita Clapton menjadi tuhan tak habis sampai di situ, pada 1966 dia bersama 2 orang temannya (Jack Bruce on bass dan Ginger Baker on drums ) membentuk Cream. Grup yang belum pernah saya dengar sebelumnya ini berhasil membuat saya merinding. Pasalnya, grup ini menciptakan legenda di musik dengan jamming keras dan solo yang panjang pada setiap konser mereka. Salah satu anggota Cream (maaf saya lupa siapa tapi kemungkinan besar sih Ginger Baker) bercerita bahwa tiap kali manggung mereka bertiga selalu memainkan solo masing masing dengan seenak udel mereka. "It would go on and on. One of us would go this way, other will go that way," ujar personel itu sambil tertawa tawa. 

Bener-bener merinding mendengarnya. Jamming Session itu bagi saya adalah sebuah keajaiban. Bagi manusia yang hanya tahu bahwa musik itu hanya bisa terjadi saat Anda menghapal lagu, Jamming Session adalah sebuah kejadian yang memukau. Jadi saat mendengar ada orang-orang yang bermain dengan KEREN tanpa persiapan latihan bermain sebelumnya, bagi saya adalah sebuah keajaiban. Sesuatu yang terjadi akibat sebuah kekuatan di luar manusia-manusia yang memainkannya. :) 

Well, eniwei.. balik lagi pada Clapton. 

Cream bubar pada 1968. Banyak yang memprediksi bahwa band itu tak akan lama bersama. Mungkin memang tak boleh ada tiga matahari di satu dunia. Tiga orang besar itu terlalu besar untuk dijadikan satu. Dan Clapton adalah tuhan, siapa yang bisa lebih besar dari itu??? 

Hehehe... 

mendengar cuplikan cerita (bagian Clapton memang cuma sedikit di dokumenter ROCK di BBC ini) mengenai Clapton membuat saya tersenyum senang. Saat hidup berada di sebuah persimpangan, memang nyaman sekali mendengar cerita mengenai bagaimana seseorang membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya dengan menjabarkan kondisi-kondisi yang dihadapinya pada saat itu. Pengalaman-pengalaman ini membuat orang seperti saya merasa 'Ah, I'm doing just fine, kok, belum seheboh Clapton dengan gonta ganti band-nya " dan dengan itu... saya bisa dengan ringan melangkah lagi...

Thanks, Mr Clapton for the music and the story!

:) 

  pic taken from : imstars.aufeminin.com

Sunday, September 05, 2010

Detta Gendut Tapi Nyaman dengan Keadaan itu

Saya kerap nonton film yang bercerita mengenai bagaimana orang berjuang melawan kegemukannya. Beberapa film yang membekas di kepala adalah Love on a Diet (2001) yang memperlihatkan Sammi Cheng dan Andy Lau jadi orang gendud yang berusaha diet untuk mendapatkan cinta dan Real Women Have Curves(2002) yang dibintangi oleh America Ferrera. Hanya dua. Memang tak banyak memang yang membuat saya terkesan. Karena kebanyakan cerita mengenai kegemukan, hanya sebuah cerita klise belaka, tanpa benar-benar mengetahui cerita di balik kegemukan itu. 

Terakhir saya menonton Queen Sized (2008) sebuah film televisi mengenai bagaimana seorang yang gemuk menjadi Prom Queen di sekolahnya. 

Film itu mendapat mixed review dari saya karena penciptaan karakter si gemuk itu tak mantap, atau paling tidak tak terasa kuat saat saya menontonnya. Selesai menonton itu, saya berpikir --tanpa melakukan research mendalam-- orang yang membuat ini pasti tak tahu bagaimana rasanya menjadi gemuk. Jadi titip salam saja buat Peter Levin, Rodney JohnsonNora Kletter dan Richard Kletter yang bercerita bahwa orang gendud itu selalu diganggu oleh orang kurus. 

Lalu pagi ini saya menonton sebuah reality show : Stylista : Elle Magazine Reality Show. Tak lama sih, cuma melihat sebentar saat jadi kutu loncat remote.. :) 

Nah, bagian yang saya tonton itu memperlihatkan seorang kontestan yang gemuk, sedang makan. Saat mengunyah pizza itu, si kontestan bilang, "although i might actually not look it, but i can't really eat that much" 

dan kamera terus menangkap dia mengunyah mengunyah dan mengunyah.... 

Saya tertawa pahit.... 

Saya tahu betapa sulitnya jadi orang gemuk. Jadi kepikiran untuk menulis entri ini di multiply.

Saya tahu bagaimana rasanya naik angkot dan dapat tatap, aih orang gemuk ini masuk, mau duduk di mana dia? 

Saya tahu bagaimana rasanya menyebutkan ukuran celana saya, dan ditatap oleh mbak-mbak pelayan dan dikatakan, ah, ngak mungkin mbak ukurannya segitu, kayanya ngak muat deh, mbak... :) makasih lho, mbak! 

Saya juga tahu bagaimana rasanya ditanyakan, sedang hamil, mbak? << yang kemudian saya jawab dengan "nggak kok emang gendud aja" yang membuat mbak itu merasa tak enak... adooh maaf ya... gue lagi bete hari itu sehingga harimau di mulut gue ndak dirantai, maaf ya :( 

Hidup jadi orang gendud itu memang ajaib. Saat Anda gendud, banyak sekali orang yang merasa kasihan. Anda kerap --tiba-tiba ditanya mengenai berat badan Anda oleh orang asing, dan Mereka juga akantiba-tiba tanpa di minta-- memberi resep kurus dan tempat nge-gym paling baik atau apalah. Gendud di sini menjadi aib.

Sebuah stigma yang menyatakan bahwa Anda tak normal. 

Tapi tak semua orang begitu. Ada banyak yang bisa melihat melewati batas kegendud-an itu. Saya sih amat bersyukur karena tak orang di sekitar saya yang mempermasalahkan kegemukan saya. Mungkin itu alasannya mengapa saya tak pernah merasa kebutuhan untuk mengarang cerita, "sebenernya saya makannya dikit, lho" atau apalah agar orang memaklumi kegemukan saya. 

Saya gendud karena saya suka makan, makanan ibu saya. Hehehe... 

Saya suka makan es krim, minum bir dan makan apapun yang berhubungan dengan pasta dan gorengan. 

Saya gendud karena diri saya yang gemar mendudukkan diri di kursi dan berhadapan dengan komputer seharian juga membaca novel-novel roman sambil tidur-tiduran... 

itu alasan mengapa saya gendud. 

dan setelah saya melihat alasan-alasan itu, saya menimbang apakah saya rela menghilangkannya untuk mendapat sebuat tempat di masyarakat "normal" dengan baju ukuran 2 dan 4 ? 

ah, kayanya belum dulu deh.... 

saya memang gendud tp sumpah mampus ini kondisi ini sudah cukup nyaman... :) 

kenapa ndak itu yang diangkat dalam film-film ini, atau yang menjadi pemikiran orang-orang?  

yah, segitu dulu soal kegemukan .... 

*terpicu oleh reality show tadi pagi. God bless me and my fat belly* 

 :) 

Seasons of Love -lyric

Five hundred twenty-five thousand 
Six hundred minutes
Five hundred twenty-five thousand 
Moments so dear
Five hundred twenty-five thousand 
Six hundred minutes
How do you measure, measure a year?

In daylights, in sunsets
In midnights, in cups of coffee
In inches, in miles, in laughter, in strife
In five hundred twenty-five thousand 
Six hundred minutes
How do you measure, a year in the life?

How about love?
How about love?
How about love?
Measure in love

Seasons of love
Seasons of love

Five hundred twenty-five thousand 
Six hundred minutes
Five hundred twenty-five thousand 
journeys to plan
Five hundred twenty-five thousand 
Six hundred minutes
How do you measure the life 
Of a woman or a man?

In truths that she learned
Or in times that he cried
In bridges he burned
Or the way that she died.

It's time now, to sing out
Though the story never ends
Let's celebrate
Remember a year in the life of friends.

Remember the love
(Oh, you got to, you got to remember the love)
Remember the love
(You know that life is a gift from up above)
Remember the love
(Share love, give love, spread love)
Measure in love
(Measure, measure your life in love)

Seasons of love
Seasons of love
(Measure your life, measure you life in love)


*pertama kali dengar di UI th 2004 sejak itu tak pernah hilang dari ingatan* 

Menulis adalah...

"Jangan berhenti menulis ya, Det!" suami seorang teman tiba-tiba mengucapkan itu pada saya saat saya resign pada 2009. Saya hanya bilang "Tentu, dong!" dengan sebuah pertanyaan menggelayut di kepala. "Mmmm... kenapa dia pikir saya akan berhenti." tapi karena memang saya tak terlalu dekat dengannya, saya hanya berpikir ah, dia hanya basa basi saja.  

Tahun ini, dengan kondisi yang sama, editor Bahasa Inggris di majalah saya mengirim sebuah sms. Isinya kurang lebih begini : I'm glad that you are teaching now, but please don't give up on writing. 
*sayaberkacakacadasarcengeng*

Berhenti menulis. :) 
Hal itu tak pernah terlintas di kepala saya. 

Menulis adalah sebuah pelepasan. Tempat untuk membuang sampah yang tercipta di kepala saya. Sebuah cara untuk membuat saya tetap waras. 

Tiba-tiba kenangan menyeruak saat reuni sekitar lima tahun yang lalu. "Huh, gue inget lo suka banget duduk sendirian di selasar sekolah nulis-nulis di notebook saat kita lagi main basket!" ujar seorang teman lama. Saya bahkan lupa sering melakukan itu saat menunggu teman-teman bermain basket sebelum akhirnya pergi les apalah bersama atau menunggu kelas melukis jam 3 sore. 

Saya mulai menulis sejak kelas 3 SD. Mengenai batu ajaib, marmut, pelangi, dan hal-hal remeh temeh lainnya. Jadi tak mungkin saya berhenti menulis. 

Saya ingat saat harus menginap 2 minggu di rumah sakit dan terpaksa meminum obat tidur dosis tinggi selama seminggu penuh, hal pertama yang saya minta pada bapak saat dosis obat tidur itu dikurangi adalah sebatang pensil dan notes bergaris untuk menulis sebuah cerita yang datang dalam mimpi di salah tidur panjang saya. 

Cerita mengenai perjalanan dua lelaki yang mencari tujuh saudara lainnya. Sayang, tulisan itu tak pernah selesai karena tangan saya masih terlalu lemah untuk memegang pensil selama minggu-minggu pertama jadi ide itu tak pernah tertulis secara jelas, walau cerita itu masih tersimpan rapi di memori. *hihihihi, jadi inget waktu menulis kalimat pertama untuk cerita itu, saya panik mengingat apakah impian itu pakai bahasa inggris atau bahasa indonesia.. wahahah... jadi tulisan itu setengah inggris dan indonesia.... yang teringat pasti adalah impian itu full color, karena warna jaket kulit panjang itu jelas sekali coklat belel* 

eniwei... (melebar ke luar lapangan :) ) 
kembali soal menulis 

Tak seperti kebanyakan orang, saya merasa tulisan adalah semua coretan yang dibuat oleh orang. Juga tak seperti kebanyakan orang, saya merasa semua orang bisa menulis, walau saya sadar bahwa tak semua orang adalah SGA, Sapardi Djoko Damono, Sindhunata, Anthony de Mello, Meg Cabot, CS Lewis, Enid Blyton, Astrid Lindgren, Agatha Christe... (well, you guys got the point, rite?) 

Jadi bagi saya menulis itu bukan sesuatu yang menakjubkan. Menulis adalah sebuah keharusan untuk bisa hidup. Jadi tak mungkin berhenti. Untungnya definisi gue mengenai menulis itu sederhana. Menulis berarti menulis.... 

Menulis itu tak berarti harus dibaca orang 
Menulis itu tak berarti harus dicetak di majalah 
Menulis itu tak berarti harus yang berat-berat dan rumit 

Menulis itu berarti berbagi 
Menulis itu berarti bereksperimen 
Menulis itu berarti berani jujur 
Menulis itu berarti tak peduli pada pendapat orang 
Menulis itu berarti jadi bahagia 

well, itu sih dari saya... 

seperti yang kerap didengungkan "Penulis mati saat tulisannya di baca orang." makanya untuk apa peduli mengenai bagaimana, apa dan bentuk tulisan kita. Asal kita jujur tak bohong mengenai apa yang kita ucapkan, tak perlu panik mengenai tulisan kita.... toh, ini tulisan kita, kalau ada yang tak suka bilang saja ke orang itu, untuk menulis sendiri ceritanya.... 

Writers rule!  


No Regret

As you grow older, you'll find the only things you regret are the things you didn't do. Zachary Scott 

"Udah gue bilang jangan masuk lagi, lo sih ngak percaya. Sekarang lo mau resign lagi kan... Huh jadi ribet deh!" ujar teman saya yang berambut kriting. Sayang waktu itu kami sedang ngobrol di warung depan kantor, sehingga obrolan ini tak bisa dilanjutkan dengan lebih emosional dan mendalam karena tak ada botol bir sebagai pendengar setia kami berdua. :) Kalau hanya ditemani es teh manis dan kopi, mah, ketawa saja lanjutannya.  

Jadi saya memutuskan untuk diam. Mengangkat kedua bahu saya, dan membiarkan teman saya itu menunjukkan my other mistakes (errr.... ndak bisa diterjemahkan kata ini ... apa yah?) 

Sore itu, saya baru memberitahukan rencana pengunduran diri saya (lagi) dari majalah yang saya cintai (cinta, yes... sepertinya cinta adalah definisi yang tepat untuk menyatakan rasa saya pada pekerjaan di majalah tersebut). Seperti layaknya teman baik pada umumnya, tugas dia adalah menertawakan saya dan keputusan saya. Tapi saat sedikit demi sedikit orang mulai tahu mengenai pengunduran diri saya yang kedua itu, tanggapan yang saya terima mulai bikin luka di dada. Crap! 


*
 "Berantem sama siapa?" tanya seorang yang tak begitu kenal dengan saya pada sebuah kesempatan. Waktu itu, saya --yang sedang sendirian makan mie instan--merasa amat tersinggung. Crap! segitu rendahnya kah saya di mata dia sampai keputusan untuk mengundurkan diri saya terpicu oleh kejadian seremeh temeh itu. Crap! saya marah sama dunia, tapi sampai detik ini belum bernyali untuk mengundurkan diri dari keberadaan... arghhhh... *masih marah mikirin omongan itu 'Crap you, sir!' jangan becanda mengenai sesuatu yang Anda tak paham dong!* 

*
"Jangan resign, dong. Mungkin kamu hanya butuh cuti. Cuti 3 bulan tanpa gaji aja, Det. Setelah itu lo bisa tenang dan bekerja dengan baik lagi." mmmmm..... karena yang ngomong orang senior bangetzzz saya hanya bisa diam saja.... errr, mbak.... mmmmm.... 

"Mungkin kamu bisa coba yoga dulu, atau ikut kelas motivasi.." 
ahhhh.... ini yang amat sangat terlalu menyakitkan! Orang ini berpikir bahwa keputusan yang saya buat tanpa pertimbangan masak-masak. Dia merasa bahwa keputusan saya ini dibuat karena sebuah kondisi sementara dalam hidup saya. Saat mendengar pernyataannya, saya merasa dianggap seperti seorang anak kecil bodoh yang tak bisa mengambil keputusan besar dalam hidup saya. Ah, crap to you too, sir!

Tak hanya satu dua orang yang menyampaikan rasa yang serupa. Saya --yang merasa bersalah-- telah membuat orang sibuk memikirkan saya, hanya bisa terdiam mendengarkan dan berharap hari H itu cepat datang. 

namun ternyata tantangan untuk berdiam dan tersenyum, tak berakhir pada hari terakhir, saat menghadap HRD dan wawancara pengunduran diri. Si mbak muda kinyis-kinyis itu bertanya, 'Ngak sayang, mbak, sudah empat tahun di sini trus keluar? Ntar kangen lho, kan udah pernah balik lagi, bukan?' 

Ah, crap. I know that you are only doing your freaking job, dear. Tapi saya tentunya juga punya hak untuk merasa tersinggung sama ucapan itu, bukan? Seakan kembali lagi menjadi sebuah tanda dosa yang menempel di jidat saya. 

Setelah badai hari H berlalu. Setelah semua rasa mereda dan saya kembali menjadi diri saya yang sederhana. Terpikir oleh saya untuk menulis ini agar lepas sebuah beban berat setiap kali saya harus bertemu dengan penilaian-penilaian orang. 

No regret. Saya tak pernah punya rasa menyesal. Itu adalah satu hal yang saya ingin ucapkan pada semua orang. 

There is no refuge from memory and remorse in this world. The spirits of our foolish deeds haunt us, with or without repentance. (Gilbert Parker) 

Kutipan di atas saya amini, jadi sejak dulu sudah saya putuskan saya tak akan pernah mau merasa menyesal. Kekuatan kenangan saja sudah cukup buat hidup jadi sebuah siksa, apalagi kalau di tambah dengan rasa menyesal aih... 

Life is a journeynot a destination. — Ralph W. Emerson 
“Life's a journey, not a destination”-- Steven Tyler

Hidup adalah sebuah perjalanan, berarti tinggal ikuti saja saja toh?
Berpikir boleh, bikin jadwal boleh, namun setiap orang harus sadar bahwa ada kebahagiaan yang namanya FREE FALLING! Tak ada satu kejadian dalam hidup ini yang tak ada artinya. Maka untuk apa menyesalinya? 

Saya tak menyesal mengundurkan diri setahun lalu. 
Waktu itu saya merasa saya sudah menjadi manusia aneh yang sebentar lagi akan meledak berkeping-keping bila tak keluar dari sana. 

Saya juga tak menyesal masuk lagi dalam waktu 3 bulan setelah mengundurkan diri. 
Saya merasa rindu terhadap semuanya dan ingin mencoba lagi dengan harapan bisa menemukan jalan yang benar di kali kedua ini. 

Saya saat ini juga tak merasa menyesal keluar lagi setelah satu tahun bekerja di sana dengan sekuat tenaga. 

I tried my best, but I guess my best wasn't good enough  
(Just Once---James Ingram) 


Kembali bekerja sebagai pegawai di majalah itu. Satu tahun kembali merajut hubungan baik itu tak akan saya tukar dengan pengalaman lainnya. Dan memutuskan untuk menyudahi hubungan itu saat sudah memastikan bahwa saya lebih mencintai diri saya sendiri dibanding pekerjaan saya, juga bukan sesuatu yang membuat saya menyesal. 

Hidup itu sebentar, namun sayangnya pengalaman di dunia itu terlalu banyak untuk sekedar saya lewati saja. 

Jadi semua ini bukan soal saya sedang berantem sama siapa, saya butuh cuti 3 bulan atau adanya kebosanan dalam diri saya. 

Ini adalah saya mencari pengalaman lain setelah pengalaman yang satu ini sudah mencapai titik akhirnya. 

Jadi, there's no regrets. Kadang rindu memang pada keriuhan semua itu, tapi i've been there and done that (twice), now its somebody elses turn to experience that and for me to experience other things. 

Tulisan ini adalah sebuah closure terhadap fase pembelajaran itu. Terima kasih sudah menemani saya di fase itu, dan terima kasih atas pembelajaran-pembelajaran yang telah Anda semua berikan pada saya saat itu. Sekarang, kelasnya sudah bubar. Waktunya untuk ganti kelas... 

MMMM.... belajar apa lagi yah? Sky Diving, barangkali?! 

*what do you think, brindil?* 








Thursday, September 02, 2010

Saya baru nonton Secret Life of The Bees

Bangun tidur masih setengah melek
Turun ke ruang keluarga/ruang makan 
Minum susu 
Ganti channel TV dari stasiun berita keparat yang pastinya tadi habis ditonton sama bapak
dan menemukan sebuah channel yang memperlihatkan opening film yang telah saya sebut di atas 

Dakota Fanning muncul di layar... 
sebelum saya berpikir mengenai betapa dewasanya dia sekarang (film terakhirnya --yang saya tonton-- sepertinya The Uptown Girl (2003) atau Charlotte's Webb (2006) .. dia masih piyik piyik di kedua film itu) 

saya sudah disajikan cerita yang langsung bikin saya nangis... wajah Dakota saat memakai sarung tangan ibunya yang sudah tiada mengawali semuanya ... sejak adegan itu... airmata ndak berhenti2nya mengalir... 

ceritanya sesungguhnya tak bermaksud agar kita menangis, tp kenapa saya tak henti-hentinya menangis? mungkin karena ceritanya begitu dekat dengan kita (err... or saya) 
cerita mengenai kesendirian, keraguan, orang luar, ketakutan, kelelahan menghadapi dunia, impian bohong, harapan besar yang tak mungkin terwujudkan. 

Filmnya sendiri, mrt saya masih terbata-bata bertuturnya, tp kekuatan cerita (karena diangkat dari novel dengan judul yang sama) benar-benar membuat kita tak hirau akan yang lainnya.... 

:) 

love the story so much.... 
smga berkesempatan baca bukunya 


"Sometimes not feeling is the only way to survive." The Secret Life of The Bees