Wednesday, August 18, 2010

Sebuah Koper Besar





"Semua harus masuk ke dalam satu koper ini," ujarnya dengan suara memelas. 
Aku melihat semua benda yang ingin dibawanya dengan koper itu dan mengerti mengapa dia terdengar begitu frustrasi. 

Ah, kenapa kamu mau membawa itu semua, sayang? 

"Aku tahu, kamu sudah berpesan hanya untuk membawa barang yang diperlukan," ujarnya dengan cepat saat melihatku menghela napas panjang. "Tapi, aku bersumpah semua ini adalah benda yang kubutuhkan. Aku kan akan pergi enam bulan." 

Ah, tapi kan kamu ngak pergi ke bulan, sayang! 

"Jangan marah dong, bantu aku memasukkan semua benda ke dalam koper ini. Kamu kan rajanya menge-pak barang!" ujarnya sambil tersenyum. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali mulai memikirkan strategi pengepakan. 

Ah, kenapa kamu merasa perlu membawa begitu banyak kaos olahraga, sayang? Di sana nanti ada lho yang dinamakan mesin cuci.

"Yah, sudah kalau benar-benar tak muat, tinggalkan saja. Enam bulan itu panjang lho. Aku takut nanti kehabisan baju," ujarnya sedikit manja. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Ingin hati bertanya, kenapa dia harus pergi begitu lama. 

Ah, biarlah ini kan hidupnya. Aku hanya di sini untuk menemani saja.Syukur-syukur bisa selamanya.   

"Yang, kita jangan putus ya........" ujarnya tiba-tiba dalam kesunyian saat aku sudah mulai mengisi koper besar itu dengan barang bawaannya. 

Ah, ada-ada saja. Apakah karena tanpaku, kamu akan bingung saat mengepak baju? 

"Sarkasmemu tak membantu, tauuu" ujarnya yang tiba-tiba sudah bercucuran air mata. 
" Enam bulan saja, bawaanku sudah segini banyak. Bagaimana nanti bila aku harus pergi untuk selamanya darimu. Tak terbayang berapa banyak benda yang harus kumasukkan ke dalam koper itu.... " ujarnya sambil terus terisak. 

Ah, dasar nona drama! Jangan menangis terus, ah.  Aku janji akan berusaha membuat kamu ingin bersamaku untuk selamanya jadi kamu tak perlu bingung harus pergi ke mana. Atau bila janji itu dirasa terlalu muluk, aku bersumpah bila saatnya tiba, aku pasti akan membantumu mengepak semuanya.
 

-selesai-


*buat para petualang! selamat jalan-jalan jangan lupa pulang yah* 
suitcase from: http://cdn.portero.com

Pacarkecilku (Joko Pinurbo, 2001)


Pacarkecilku 

untuk Anggara 

Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang 
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari kehalaman, 
menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya 
di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu 
gumpalan cahaya warna-warni. 

Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya. 
Ketika bangun ia berkata: "Tadi kau ke mana?
Aku mencarimu di rerimbunan taman bunga." 
Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan 
pelan-pelan membuka matanya. 

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya 
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati 
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti. 

(2001) 


*di-post di multiply untuk seorang teman yang penasaran mengenai pacarkecilku-nya Joko Pinurbo* semoga sempat dibaca ya.. :) 

Berondong

"Sumpah gue ndak tahu kalau dia umurnya semuda itu," ujar perempuan itu sambil menatap dua sahabatnya yang malam itu--khusus malam itu--menyewa kamar di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat untuk menghentikan waktu sesaat dan menertawakan kehidupan Jakarta yang kurang ajar.

"Gimana, ngak tahu sih, nyet! Masa lo ndak merhatiin skinny pants-nya??? Menurut lo, ada gitu laki angkatan kita yang mau pakai celana begituan?" ujar sahabat yang terlihat alami dengan tato alis dan rambut merahnya. 

Sahabatnya yang lain hanya tertawa-tawa sambil duduk di pinggiran jendela kamar, siap menyalakan rokoknya. 

"Harus berapa kali gue katakan, gue bener-bener baru tahu bahwa dia jutaan tahun lebih muda dari gue, setelah kita memutuskan untuk serius berhubungan!" ujar perempuan itu sambil tertawa. Dia tahu bahwa kedua sahabatnya sedang kaget mengetahui perkembangan terakhir dalam hidupnya. Memang tidak ada berita yang lebih mengejutkan dibanding ini. Ah, berondong, kenapa kamu tak lahir lebih cepat sih! begitu batin perempuan itu sambil tersenyum melihat ironi yang ada. 

"I ain't buying that, nyet!" si rambut merah tiba-tiba jadi ketus. 

"Kenapa jadi begitu marah sih, babe?" ujar perempuan itu sambil menatap sahabatnya yang marah-marah itu menghempaskan tubuhnya ke kasur  satu-satunya kasur yang ada di ruangan. 

"Jelas gue marah. Dan gue punya hak untuk itu!" ujar sahabat yang kini terlihat menyala dengan rambut merahnya. 

Kedua temannya saling menatap curiga. "KENAPA?" 

Si merah tiba-tiba tersenyum nakal dan berkata, "coz i want one too!" 

"Is it true about what they say about 'em young ones?"................................. 

obrolan pun berlanjut dengan bisik-bisik dan tawa yang menggema sepanjang malam... 


saat fajar, perempuan itu terpekur sendirian menatap kedua temannya yang sudah terlelap. 

Kadang memang harus ada cerita yang disembunyikan --bahkan pada sahabat sekalipun-- 

cerita bagaimana dengan kikuknya berkenalan dengan kakak pacar yang umurnya jauh di bawah perempuan itu. atau saat melintasi gedung MPR/DPR dan mendapati kekasihnya bercerita bahwa waktu lulus SMP, dia tak bisa mencari sekolah jauh-jauh dari rumah karena pada saat itu sedang ada demo penurunan presiden di tempat di mana perempuan itu--saat itu--sedang mengenakan jaket kemahasiswaan dan berorasi dihadapan ratusan orang... 

ah, biarlah para sahabat hanya tahu soal anehnya berjalan dengan lelaki yang gemar mengenakan skinny... mungkin pada saatnya nanti, he'll grow over it, eventually .... 



:) 
*nyolong cerita sedikit ya, dul!* 
 

 


 
  

 

Tuesday, August 17, 2010

Dan hujan pun turun dengan deras pada pukul tiga siang

kenapa hujan turun dengan deras pada pukul tiga siang? 

saat aku dan kamu sedang duduk terdiam membiarkan apa yang diajarkan menguap perlahan tiba-tiba hujan keparat itu datang. Saat makan siang beberapa jam yang lalu sudah habis diproses di perut dan membuat kepalaku dan kamu mulai mempertimbangkan apakah sudah waktunya kembali makan. Saat semua yang ingin dibicarakan sudah diungkapkan, bahkan semua perdebatan pun telah selesai diluruskan... 

kenapa hujan turun dengan deras pada pukul tiga siang? 

benar-benar tak habis pikir.. kenapa si hujan memilih waktu itu untuk turun membasahi bumi. Saat aku dan kamu sudah habis bahan obrolan. Saat aku dan kamu sudah tak lagi punya cerita. Jadi apalagi yang harus dibicarakan? 

"kopi, teman?" ujarmu dengan perlahan. 

Ah, bohong! Aku tahu kamu tak benar-benar ingin menawariku kopi. Sejak kapan kamu mengubah pandanganmu mengenai perempuan dan kopi? Ini pasti caramu untuk membunuh waktu. Setahun lalu, kamu tak begitu. Dulu, kamu dengan santai akan berkata, "Sayang, aku mau kopi buatanmu." Huh! dan aku pasti dengan sedikit menggerutu akan membuatkannya persis seperti ajaranmu. 

Ada rasa canggung saat melihatmu bangkit dan membuatkan kopi untuk aku. Hahaha. Well, mungkin canggung bukan kata yang tepat. Mungkin lebih cocok surreal. :) 
Entahlah.  Mungkin kamu telah berubah. Atau aku telah berubah sehingga kamu mengikuti perubahan itu untuk mengimbangiku. Atau ah, entahlah... mungkin beban kata sayang dan honey itu membuat hubungan setahun yang lalu itu jadi berantakan. 

Uff... tiba-tiba kenangan mengenai kejadian setahun lalu menempel di kepala...

kenapa hujan turun dengan deras pada pukul tiga siang? 

Sehingga aku tak bisa kemana-mana. Terperangkap dalam kenangan. Kenangan buruk bersamamu setahun yang lalu.

"Ini kopinya," ujarmu sambil meletakkan mug besar berwarna merah jambu norak itu di sisi kakiku yang sedang bersimpuh di teras memandangi derasnya air yang jatuh dari langit. 

Gila, kamu benar-benar bikin kopi? ujarku dalam hati. Tapi tetap aku tak tahan untuk tidak membelalakkan mata melihat kamu datang dengan mug itu. Ah, mungkinkah waktu setahun bisa mengubahmu sedemikian drastis?

kenapa hujan turun dengan deras pada pukul tiga siang? 

Aku hanya bisa terdiam dan berlahan-lahan menghirup kopi yang kamu sediakan. 

"Masih sampoerna merah?" ujarmu menghentikan kegiatanku menyesap kopi itu. 
APA? ini benar-benar kejutan. Mau tak mau aku harus menganga menatapmu membawa asbak dan sebungkus sampoerna merah di tangan. 

Kamu memang benar-benar tak malu! 

Kamu kan sudah berjanji bahwa hari ini tak akan ada pembahasan mengenai masa lalu!

Tapi kenapa tiba-tiba ada secangkir kopi dan rokok itu? Semua kegemaranku yang dulu kamu benci sekarang dengan santai kamu hadirkan di mukaku. kemana Gudang Garammu? kemana ego lelaki yang percaya bahwa kopi yang enak adalah kopi bikinan seorang wanita?  

kenapa hujan turun dengan deras pada pukul tiga siang? 

"kadang aku rindu bau rokokmu, jadi selalu ada di kamarku. Akan kuhisap satu tiap kali aku rindu ingin bicara padamu" ujarmu tak malu-malu. SIAL, aku mengutuki diriku sendiri. Kenapa aku berpikir bahwa setelah kejadian setahun yang lalu, aku dan kamu bisa kembali lagi menjadi manusia yang sama seperti sebelum kejadian itu.

Kuharap hujan bisa cepat reda. Ternyata setahun belum bisa menghilangkan rasa tak enak yang membuat aku dan kamu tak bisa lagi berhadapan muka tanpa mengenangnya. Hujan terus mengguyur bumi tanpa ada tanda tanda ingin berhenti. 

"Tadi kamu berjanji kita harus mencoba untuk berteman lagi," ujarku tak berani menatapnya, "kalau terus begini, sepertinya pertemanan tak bisa menjadi sebuah opsi. Kawan, saya masih takut untuk mengenang." 

Kamu terdiam. Lalu mengambil gitar. Benteng terakhirmu setiap kali ada sesuatu yang mengganjal. Aku hanya bisa berdoa semoga hujan bisa cepat reda. 

Lalu, seperti ada yang mendengarkan doaku. Langit tiba-tiba berhenti mengucurkan hujan. Awan gelap hilang dan matahari kembali bersinar. 

"Aku pulang, kawan," ujarku sambil menyelesaikan kopi di mug merah jambu itu. 

"Baiknya memang begitu," ujarmu ikut bangkit menemaniku mengambil tas dan semua barang-barangku. 

"Maafkan soal kenangan. Padahal tadi awalnya kita sudah bisa baik-baik saja seperti dulu yah?" tanyamu berusaha bernada ringan. 

"iya, ini semua gara-gara hujan. kalau saja tak hujan. Aku dan kamu pasti sudah keluar lagi mencari makan dan tak bakal ada obrolan mengenai kenangan!" jawabku --juga berusaha terdengar ringan. 

Di tengah sisa hujan, aku berjalan. Mengingat janji aku dan kamu untuk bertemu esok hari --bila tidak hujan--untuk kembali lagi menjajaki kemungkinan untuk berkawan. 

Aku sungguh berharap besok tak akan hujan, karena hujan --terutama yang deras pada pukul 3--akan selalu menjadi penghalang usaha kami untuk mengubah status dari mantan pacar kembali ke sahabat kental.


* kenangan hujan pukul 3 siang di jatinangor yang sedang gue rindukan*

diskusi kurcaci

udah lama kita ndak nulis tentang si bajak laut, kenapa yah? 

aku bosan menulis tentang dia. 

kenapa bosan?
 
karena setiap kali kita menulis tentang dia, penutup ceritanya selalu tak ada. Arghh... kamu kan tahu bahwa aku tak suka cerita yang seperti itu adanya. 

tapi tidakkah kamu merasa tokoh bajak laut dan perempuan yang ditinggalkannya di darat bisa menghasilkan banyak cerita? 

apa lagi yang bisa kita ceritakan? Perempuan yang kesepian menanti dengan sabar sedang si bajak laut bertualang ke daerah-daerah eksotis tanpa tujuan... itu semua amat sangat menjemukan.... 

ayolah, jangan terlalu pesimis. Bisa saja kita buat si bajak laut tiba-tiba pulang dan menyatakan dirinya ingin menjadi  guru matematika di malang. 

kamu berharap cerita kita menjadi sebuah komedi tanpa isi? 

baiklah kalau kamu tak mau si bajak laut jadi guru matematika, terserah kamu dijadikan apa dia. Tapi yang pasti aku rindu menuliskan kisahnya. 

EHM.... MAAF.... 

wah, si empunya kepala menginterupsi diskusi kita 

huh, abaikan saja dia, sejak kapan dia diperbolehkan terlibat dalam rapat ide ini

HANYA INGIN MEMBERI MASUKAN, AGAR DISKUSI INI TAK BERLARUT JADI DEBAT KUSIR YANG TAK HENTI.... 

maaf, hanya kami yang bisa menentukan apakah ini diskusi atau debat kusir. Anda hanya manusia pemilik kepala. isi dan segalanya adalah hak kami semua. 

IYA SAYA MENGERTI. TAPI, MOHON, TOLONGLAH BEREMPATI. SIANG INI SAYA BENAR-BENAR INGIN TIDUR SETENGAH HARI... JADI SAYA INGIN MEMBERI MASUKAN SEDIKIT, SEHINGGA KALIAN SEMUA BISA MULAI BEKERJA DENGAN TENANG TANPA KEGADUHAN. 

mungkin ada baiknya kita dengarkan dia. mungkin dia bisa memecahkan kebuntuan kita tentang si bajak laut yang sudah lama hilang. 

mffff... baiklah, namun kita yang menentukan apakah masukannya itu layak dipertimbangkan atau tidak. Anda boleh bicara, wahai pemilik kepala! 

ERR... TERIMA KASIH. SAYA HANYA INGIN BERKATA, BAHWA ALASAN SI BAJAK LAUT TAK LAGI ADA ADALAH KARENA DIA KINI SUDAH MENETAP DI PULAU SEBERANG DENGAN ISTRI DAN DUA ORANG ANAKNYA. JADI PEREMPUAN ITU SUDAH TAK LAGI MENUNGGU, STATUSNYA KINI SUDAH RESMI DITINGGALKAN... 
JADI BAIKNYA TAK ADA LAGI CERITA MENGENAI BAJAK LAUT ITU, SAMPAI LUKA DI HATI SANG PEREMPUAN HILANG. BISAKAN? 


***** 

sisa hujan, kopi dan kurcaci.... 

Thursday, August 12, 2010

tes #3

Senja sudah tiba. Langit seakan jadi sebuah kanvas raksasa yang diberi warna oleh kuas yang tak terlihat. 

"Senja sudah tiba," ujarnya tiba-tiba sambil menuntunku mendekati bibir pantai. "Baiknya kita lihat dari sini saja." 

Tiba-tiba dia mengutip tulisan dari penulis favoritku 

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan. (Sepotong Senja Untuk Pacarku- Seno Gumira Ajidarma) 

Untuk sesaat aku tertegun. Dari mana dia tahu kutipan itu?
"Karena selera kamu pasaran, non!" ujarnya menatap bingungku. Tak pernah dia mengeluarkan pendapat sekeras itu. Sepanjang ingatanku, dia tak pernah punya pendapat mengenai aku secara pribadi. Sejak kapan dia berubah begini?

Sambil memandang senja memerah dia perlahan berkata, "hidup indah kalau dilihat dari sini ya, non. Ada baiknya bila kita hidup begini saja untuk selamanya." 

Tanpa tanya, aku sudah mengerti maksudnya. pemikiran mengenai kami yang tadi menganggu di kepala, terjawab semua. 

Kami ternyata ada. Walau tanpa cerita, konsensus, atau hal-hal lain yang menghilangkan identitas aku dan dia, konsep kami ternyata ada. Dan dengan itu, aku sudah cukup bahagia. 


*buat seorang teman yang jatuh cinta pada pantai* 

tes #2

Pukul empat. Sebentar lagi senja. Masih di Neverland, tempat di mana semua orang tak bisa jadi tua. Dia masih duduk di pantai seberang sana, dan aku memilih duduk di bawah satu-satunya pohon kelapa yang ada. Walau berjauhan, sepertinya kami berdua sadar, bahwa kami berdua ada di tempat ini secara bersamaan. 

Dua orang kesepian, begitu pandanganku tentang kami berdua. Dua orang kesepian yang kebetulan bertemu dalam waktu yang bertepatan. 

Orson Welles pernah bilang bahwa "Only through our love and friendship can we create the illusion for the moment that we're not alone.

Mungkin apa yang kami lakukan adalah mencipta ilusi itu. Ah, sepertinya mungkin bukan kata yang tepat di sini. Kami memang menciptakan ilusi itu. 
Ilusi bahwa akhirnya aku punya seorang teman, dan dia punya kawan. 

Semua ini hanya ilusi. Karena selain kebersamaan secara fisik, kami berdua tak ada keterkaitan. 

Tiba-tiba teringat akan makan siang-makan siang sunyi di mana kami berdua akan meluncur ke sebuah tempat makan yang sebelumnya kami sepakati. Hanya diam menikmati makan dan berinteraksi dengan isi kepala masing-masing. 

"Enak?" tanya dia. 
"Iya," jawabku sekenanya. 

lalu kami melanjutkan makan kami dalam diam. 
Sebuah diam yang nyaman. Sebuah diam yang tak menakutkan. Sebuah waktu untuk mengurai semua kejadian yang dihadapkan pada kami sejak pagi. Mengurainya sendiri di kepala masing-masing, tanpa merasa perlu bercerita dan membahasnya dengan orang yang duduk dihadapan. 

Persis seperti yang kami lakukan di pantai ini.  Kami berdua sedang menguraikan hidup kami di kepala masing-masing. Tapi bedanya, kali ini ini masalah yang aku uraikan adalah tentang kami.

Kenapa aku tiba-tiba peduli mengenai kami? Seharusnya tidak ada kami. Dua manusia kesepian yang kebetulan bertemu dan menghabiskan waktu sepi mereka secara bersamaan bukanlah sebuah kesatuan. Aku seharusnya tahu itu, karena aku yang menciptakan konsep itu. 

Aku menatap dia dari kejauhan. Dia sepertinya sedang memejamkan mata menikmati angin kencang pantai menghantam wajahnya. "Jangan terlalu sering melakukan itu," ujarku dalam hati, "hantaman angin bisa buat kau cepat keriput." 

Aku tertawa sendiri membayangkan kalimat itu berlalu di kepalaku. Ini kan Neverland, seharusnya aku tak perlu takut mengenai keriput dan ketuaan. 

"Apakah kamu baik-baik saja?" jeritnya mencoba mengalahkan deburan ombak dan angin yang menerbangkan suaranya jauh dari pendengaranku. 

Aku mengacungkan jempolku tanda aku baik. Dia mengacungkan jempolnya juga. Kami berdua baik-baik saja ternyata. 





tes #1

Menanti senja di sebuah pantai tersembunyi bersama denganmu terasa seperti sebuah adegan dalam sebuah film cerita. Surreal memang. Tapi ini benar-benar nyata. Berulang kali aku mencubit lenganku untuk menyakinkan diri bahwa semua ini bukan khayalan belaka. Akhirnya aku harus mengakui bahwa ini benar adanya setelah melihat bekas membiru di lengan kanan ku. 

Tapi ini absurd. Aku, kamu dan tempat ini bukan tiga hal yang bisa digabungkan. Tiba-tiba teringat sebuah acara di televisi waktu masih aku masih kanak-kanak. 

One of these things is not like the others,
One of these things just doesn't belong,
Can you tell which thing is not like the others
By the time I finish my song?


Three of these things belong together
Three of these things are kind of the same
Can you guess which one of these doesn't belong here?
Now it's time to play our game (time to play our game).

Lagu itu terus berputar di kepalaku. Entah kenapa. Mungkin karena aku perempuan. Menurut temanku, hanya perempuan yang punya kemampuan tiba-tiba menggumamkan lagu tanpa sengaja. Katanya, karena begitulah cara berpikir perempuan. 

Apakah cara berpikir seperti itu juga yang membuatku tanpa pikir panjang melompat masuk ke mobilnya saat dia berkata, "Hop in! Let's take a ride to Neverland" 

 Dan inilah Neverland itu. Tempat di mana orang tak akan jadi tua. Tentu saja orang tak akan bertambah umurnya, wong, hanya ada kami berdua... tentu tak akan ada pembandingnya, bukan. 

Aku memandanginya sedang menatap laut. Laut, menurutnya, adalah tempat paling jujur di dunia. Entah kenapa dia berkata demikian, mungkin karena dalam tiap deburan ombak dia bisa menjeritkan semua rahasianya. Ah, entahlah aku tak tahu, tak sempat kutanyakan itu semua saat dia mengeluarkan pernyataan mengenai laut itu. 

Arghhh... apa yang aku lakukan di sini?? 


Wednesday, August 11, 2010

Bangun, sayang, waktunya sahur. Kamu puasa kan?

Hal paling tak kusuka adalah membangunkanmu saat sahur tiba.
Tapi aku tahu, kamu pasti murka bila tak dibangunkan saat sahur tiba.
Jadi terpaksa aku berhenti menggerakkan jemari di atas komputer lalu beranjak membangunkanmu dari lelapnya tidur.
"Yang," ujarku perlahan sambil menatap dirimu yang berganti posisi mencari kenyamanan.
Tugasku kemudian bertambah berat. Aku harus jadi raja tega yg membuyarkan kelelapan tidurmu dengan segera.
Waduh. Ingin rasa bulan puasa segera lewat, biar tak lagi aku jadi orang yang jahat. Orang yg mengusikmu saat kau lelap.
Pernah aku protes akan tugasku ini. Kamu dengan santai menjawab, 'ah, anggap saja ini balas dendammu padaku karena memaksamu ikut prosesi paskah dan tuguran bersama keluargamu.'

*ah, kurcaci.. Kamyu benar2 aneh subuh ini*

Bulan Puasa

Bulan Puasa selalu mengingatkan ku akan dia. Dia dan rantang ajaibnya. Rantang yang katanya dibelikan ibunya utk menemaninya merantau di sini.

Sebelum sahur, aku selalu menjemputnya untuk mencari makan di warung warung yang ada. Di sepi pagi, kami berjalan. Aku, dia dan rantangnya. Entah kenapa dia tak mau makan di warung itu. Menurutnya akan lebih nyaman kalau kami makan di kamarnya. Dia pun menolak membungkus makanan dg kertas coklat yang tersedia. 'lalu untuk apa rantangku ini kubawa?' begitu ujarnya waktu ku tanya.

Jadilah selalu begitu ritual aku dan dia. Berjalan berdua menyusuri jalan setapak menuju warung terdekat. Di tengah gelap bersama rantang yang norak.

Kadang ingin sekali kubuang benda itu, karena tiap kali si rantang ada, dia enggan menggenggam tanganku saat berjalan. Padahal -pada masa itu- menggenggam tangannya adalah satu satunya hal yang boleh kulakukan. Tapi gara-gara si rantang, aku tak bisa melakukannya selama sebulan.

Ironisnya, hal itulah yang terekam di ingatan. Perjalanan kami di pagi buta bersama si rantang norak yang membuatku harus membenamkan tangan di kantung jaket untuk mencari kehangatan.

Aih, kenapa setiap bulan puasa kepalaku isinya hanya dia dan rantang norak itu ya?

Semoga setelah lebaran, aku bisa ke rumahnya mencari tahu apakah rantang itu sudah diwariskannya pada anak-anaknya.

*kurcaci, kamyu aneh sekali*

Bcoz they make me laugh...

Bcoz he makes me laugh, begitu ujar teman saya menceritakan mengapa dia jatuh cinta pada suaminya. Saya mengamini ucapan teman saya itu. Anda memang harus jatuh cinta pada orang yg bisa membuat Anda tertawa.

Malam ini, beberapa detik sebelum saya mematikan lampu kamar, tiba tiba saya merasa amat sangat bersyukur. Karena 2 minggu belakangan ini saya baru menyadari bahwa semua teman saya telah membuat saya jatuh cinta. Karena dalam waktu dua minggu ini saya tak henti hentinya tertawa.

:) gosh, i am ever so lucky! Saat ada yg hanya diberi satu, ternyata saya diberi begitu banyak!

Terima kasih ya, semua. I heart you guys, thank you for making me laugh. :)

*note buat si dudul : see, i do fall in love! :p*

Menjadi Biasa!

 After all... I'm just a girl, standing in front of a boy, asking him to love her.” Demikian ujar Anna Scott kepada William Thacker dalam film Nothing Hill (1999). Dalam film itu Anna Scott adalah seorang bintang Hollywood terkemuka yang jatuh cinta pada William Thacker pemilik toko buku bekas  kecil.

Sewaktu menonton Nothing Hill untuk kesekian kali, tiba-tiba saya teringat cerita seorang teman. Di sela-sela acara talkshow sebuah majalah terkemuka (hahaha) di Plaza Indonesia, tiba-tiba teman saya yang satu ini punya keinginan untuk bercerita mengenai masa lalunya. Jadilah kami berdua duduk di sudut warung kopi tempat acara itu berlangsung dan membahas sekelumit mengenai masa lalunya.

“Waktu itu kami bertanya-tanya, boleh tidak kami jadi orang biasa saja,” ujar lelaki yang menurut saya punya isi kepala yang terlalu tua untuk umurnya. Kalimat itu langsung saya hadiahi dengan tatapan sinis.

Mungkin itulah yang ada di kepala anak-anak jurusan Fisika dari sebuah kampus ternama di Indonesia.  Mungkin dari awal memang mereka sudah tahu takdir mereka untuk menjadi orang yang luar biasa karena berhasil memasuki jurusan ajaib dengan kemampuan mereka yang luar biasa.

Obrolan itu menjadi panjang dan pembahasan semakin menjadi absurd. Isinya mirip dengan lagu Superman dari Five for Fighting. Walau sudah mendapat penjelasan panjang dan lebar, saya tetap kukuh dengan kesinisan: Walau Anda merengek tak suka dan tak bisa, tetap saja Anda Superman, bukan? Shove it and face it like a man!

Well, seperti biasa, pemikiran-pemikiran bodoh saya akhirnya menjadi bumerang yang langsung menghantam muka saya setelah sekian lama tak nampak.

Hari terakhir saya bekerja, ada beberapa orang yang mengetahui kepergian saya dan berikut percakapan yang terjadi di sebuah tangga:

Dia: eh, hari terakhir ya, Det..

Me: Iya. Pamit yah.. sampai ketemu kapan-kapan…

Dia: Sukses ya, Det…

Me: Terima Kasih

Dia: Eh, mau ke mana abis ini?

Me: Err.. ngak ke mana-mana mau di rumah saja

Dia: Ooooo (panik) tapi tetep sukses ya, Det!

Me: iya… (bingung)

Tiba-tiba suara temen saya di sudut warung kopi terngiang di telinga saya. “Boleh tidak kami jadi orang biasa saja? Ngak usah sukses, tapi biasa saja, karena itu benar-benar jadi sebuah beban”

Akhirnya saya mengerti obrolan waktu itu. Kesuksesan Anna Scott membuat dia merasa harus meyakinkan belahan jiwanya bahwa dia hanyalah seorang anak perempuan minta untuk dicintai. Superman pun minta dikasihani dan segerombolan anak jurusan fisika murni pun minta untuk dianggap biasa saja.

Dan akhirnya setelah sekian lama: Saya –akhirnya –pun memahami bahwa yang saya minta adalah sebuah hal yang biasa-biasa saja, tak mau label sukses ditancapkan di mana-mana. Hanya biasa-biasa saja, sepertinya itu cukup untuk hidup saya J

Menjadi Tua bagian 2

Age is an issue of mind over matter.  If you don't mind, it doesn't matter.  ~Mark Twain

Dulu saya percaya bahwa umur itu tak berarti apa-apa. Cuma menunjukkan jumlah waktu yang sudah Anda habiskan di dunia. Tapi belakangan ini—saat umur saya menjelang senja—ada hal-hal yang bikin saya ketawa dan menyadari ‘ah, memang saya sudah tua.’ Berikut kisahnya…

Beberapa waktu lalu, saya menghabiskan waktu makan siang di sebuah toko buku, dan membeli buku perdana Curtis Sittenfeld yang sejak lama menghantui saya. Judul buku itu PREP. Seorang teman pernah memberi jempol pada buku itu dan menyarankan agar semua membacanya. Mungkin karena buku itu buku lama, jadi jarang sekali ada di toko-toko buku terkemuka, namun siang itu, keberuntungan sedang bersama saya. Ternyata buku itu nangkring dengan manisnya di rak toko. Ah, kebetulan… saya beli juga benda itu…

PSSTT…. Sedikit info mengenai Mbak Curtis ini.. dulu saya pernah naksir sama cover buku Mbak Curtis no, 2 yang bertajuk Man Of My Dreams. Gambar katak kecil sendirian di cover polos bikin saya ingin membaca buku itu sambil berkelung di tempat tidur yang nyaman. Karena judulnya mengindikasikan cerita cinta menye-menye, dengan gegabah saya membacanya saja. Ternyata, Mbak Curtis mengagetkan saya… bukunya bercerita lebih dari sekedar cinta, namun mengenai posisi perempuan di dunia yang diciptakan manusia… Tadinya mau menye-menye jadinya berpikir mendalam mengenai konsep perempuan… hehehehe…

Balik lagi ke PREP, shall we….

Setelah membaca buku ke-2nya, saya lebih berhati-hati saat membuka PREP. Secara garis besar PREP bercerita mengenai Lee Fiora seoranga anak kelas ekonomi menengah yang ingin masuk ke sekolah asrama. Buku ini bercerita mengenai bagaimana Lee berinteraksi dengan anak-anak asrama yang datang dari latar belakang yang berbeda dengannya. Buku yang menarik dan saya senang membacanya.

Ada sesuatu yang membekas di diri saya saat membaca buku 400-an halaman itu. Saat Mbak Curtis bercerita mengenai hari-hari Lee di asrama dan apa yang dilakukannya di sekolah, saya mendapati diri saya sangat marah. Saya merasa… err… sudden rush of emotion (nah, lho! Saya tak tahu bagaiamana menerjemahkan ini) … saat mengetahui bahwa Lee sama sekali tak mau belajar dan tidak fokus pada pelajarannya… dia lebih senang memikirkan hal-hal aneh lainnya seperti rasa tak percaya dirinya atau rahasia-rahasia yang dia dengarnya. Saat membaca ini, saya ingin sekali bertemu dengan Lee dan bilang : “young lady, you better straighten up your act!” Urghhhh… saat membaca itu saya benar-benar mau marah….

But after I put the book down (nyerah nulis pake bahasa Indonesia) saya langsung terbahak-bahak sendiri… Gokil!!! I’m old! Lee Fiora adalah seorang gadis berusia 14 tahun, anak seumur dia memang harusnya demikian… kenapa saya menjadi tua dan ingin mencak-mencak melihat ketidak seriusannya menghadapi pelajaran sekolahnya ya?

Damn… dodol banget sih saya…. Pada saat itu saya baru sadar bahwa umur mempengaruhi itu semua…

Setelah kejadian itu, saya mulai memata-matai diri saya sendiri.. (how cool is that?) apakah ada tanda-tanda saya menjadi tua terlihat dari tingkah laku saya? Itu adalah pertanyaan besar yang ingin saya ungkap. Ternyata, jawaban adalah IYA (damn!)

Saya punya teman yang punya kebiasaan mengubah dirinya menjadi anak umur 4 tahun untuk menghilangkan kebosanan. Kebiasaan yang amat sangat menyenangkan bagi saya. Karena saya merasa amat sangat terhibur saat dia berubah menjadi anak kecil berusia 4 tahun yang sok tahu itu. J

Beberapa saat yang lalu, teman saya mengubah dirinya menjadi si anak 4 tahun ini saat kami sedang makan dengan santai. Tiba-tiba (errr.. saya lupa kenapa) si anak itu menjeritkan kata yang sangat kotor. And you know what happened? Saya sempat lupa bahwa yang mengucapkan kata itu adalah teman saya yang sudah hampir berusia 40 tahun!!! Saya terkejut karena saya sempat bertanya dengan nada tinggi, “siapa yang mengajarkan kamu ngomong seperti itu?”

Argghhhh…. Untuk beberapa saat saya tak melihat sosok teman saya itu, melainkan anak umur 4 tahun yang mengucapkan kata yang kotor….. dan rasanya mau marah sama orang yang mengenalkan kata itu ke anak kecil!

Gokil! Talk about being old….

Waduh, kacau sekali kepala saya belakangan ini….

Apakah kalian pernah merasakan demikian? Merasa tiba-tiba menjadi tua dan lupa bahwa anak-anak memang begitu adanya?

buat kurcaci di kepalaku, maaf ternyata aku salah, aku bukan Peter Pan  

Monday, August 09, 2010

Pertama...

Apa yg pertama kali terlintas saat bangun pagi ini?
Ternyata jawabannya adalah betapa lembutnya sarung bantal ini menempel di pipi.
Lalu mulai mensyukuri hembusan ac yg tak terlalu dingin untuk ukuran pagi itu.
Kemudian memandang langit mendung yang membuat hati bersyukur karena tak perlu kemana mana pagi itu.

*hari #1 bersama kurcaci saja*

Wednesday, August 04, 2010

Di ruang kelas teknik dg kendala teknis dan ac super duper dingin.

Dia sedang jatuh cinta pada lelaki yang hanya bisa temui hari ketiga minggu keempat tiap bulan genap tiap tahun.
Memang rumit sekali menunggu waktu untuk bertemu.
Ah, tapi itu hanya perhitungan rindu, ujarnya tak acuh.
Yang penting yang kuyakini hanya satu,
aku jatuh cinta pada lelaki itu,
ujarnya sambil menunggu.



Depok, bersama kurcaci di kepalaku.

Monday, August 02, 2010

You

I'll believe you if you say everything is gonna be ok, dear.
I'll believe you.
I'll believe you.
Really, i would.