Wednesday, June 09, 2010

cerita tentang Bapak

masih segar di ingatan saya raut wajah Anda saat saya membuka pintu rumah malam itu.
lengkap dengan seragam kerja dan tas kantor, Anda mengucapkan salam pada saya.

"Halo, Bapak pulang."

santai tanpa beban, Anda kemudian bercerita bagaimana Anda terpaksa naik pesawat dari Semarang ke Jakarta, karena kota tempat Anda bekerja sudah tidak memungkinkan Anda untuk tinggal lebih lama lagi. Anda --untuk sekian kalinya dalam bulan itu--mendapat ancaman pembunuhan lagi.

Saya berusaha untuk tidak kesal mendengar itu, karena tahu bila saya memperlihatkan emosi, Anda akan merasa sedih. Satu hal yang tak Anda butuhkan di hari yang melelahkan itu.

Berminggu-minggu Anda ada di rumah dan mendiskusikan masalah itu dengan si gendut yang sudah mempersiapkan hal-hal berhubungan dengan tuntutan hukum yang Anda bisa lakukan untuk membereskan masalah itu.

Masih segar di ingatan saya, bagaimana wajah Anda yang --sekali lagi tetap santai-- bercerita mengenai waktu yang amat panjang yang Anda habiskan di ruang interogasi polisi membahas kenapa hal yang memalukan itu bisa terjadi.
Dan mengenai kekecewaan Anda terhadap orang yang menghancurkan impian Anda dan mengubahnya menjadi sebuah kepentingan politis-ekonomis yang memuakkan.

Hal itu masih kadang menghantui saya. Untung harapan saya mengenai hilangnya masalah itu, dikabulkan oleh dunia.

baru saja saya bisa bernapas lega, tiba-tiba Anda punya kisah lain yang membuat kepala saya kembali terbeban berat.

"Hari ini saya membawa pengacara untuk mendengarkan tuntutan orang yang dipecat karena mencuri di pabrik," kembali dengan santai Anda bercerita di meja makan.

Saya hanya diam dan menarik napas berat. Si gendut yang duduk di seberang meja hanya bisa memandangi saya.

Waduh ada apa lagi ini? begitu batin saya.

Anda memang sudah bercerita mengenai kasus pencurian itu. Sebuah kisah sederhana yang ujungnya di tutup dengan kalimat, "Saya akan membuat kasus ini jadi besar!" keluar dari mulut manusia tertuduh itu.

Dan kemarin, masalah itu pun dibesarkan di sebuah pertemuan tertutup di Depnaker.
Emosi si tertuduh membuat Anda harus bertanya, "Apakah Anda menuntut perusahaan atau saya sebagai pribadi? karena saya di sini mewakili perusahaan, bukan pribadi? dan ancaman pembunuhan yang Anda keluarkan itu ditujukan pada saya sebagai pribadi."

Ancaman pembunuhan.

kata itu terdengar surrealis bagi saya yang gemar membaca buku detektif. Si gendut mendengarkan dengan seksama walau tak mengucapkan sepatah kata. Saya tak mampu mendefinisikan apa yang terjadi di kepala dan hati saya.

Waduh, kenapa ini harus terjadi lagi sih?

"Agak mengerikan memang, bagaimana orang itu membawa segerombolan orang berwajah menakutkan ke tempat pertemuan. Ah, tapi kalau ada apa-apa, tanggung jawabnya ada di depnaker yang seharusnya menjaga keamanan di gedungnya."

Si gendut, manusia yang selalu saya cari bila butuh saran rasional, tetap diam. Dan saat Anda tak ada di ruangan. Gendut berbisik, "Tenang, kasusnya belum diputuskan, harusnya sih sederhana saja keputusannya. Dan perlu diingat, kadang orang hanya gemar mengancam saja, lagian Bapak selalu ditemani Pak Udin kemana-mana."

Saya harap semua memang sesederhana itu. Saya benar-benar berharap memang hanya sesederhana itu.

Kenapa sih orang gemar sekali mengancam?
kenapa sih orang gemar sekali berbuat jahat?
Saat Anda bekerja, mengapa sih Anda harus mencuri di tempat yang memberi Anda gaji?
Saat Anda ketahuan, mengapa sih Anda harus mengancam orang yang memberi Anda sanksi? kenapa Anda tak bertanya kepada diri Anda sendiri, mengapa saya mencuri?

Baiknya kita tinggalkan semua ini
dan mencari ketenangan sendiri, bagaimana?

dunia ini adalah panggung drama yang ekstrim. Saya hanya bisa berharap agar semuanya selesai dan cerita yang saya dengar dari Anda hanyalah mengenai manusi-manusia seru yang ada di Take Me/Him Out Indonesia malam tadi.






3 comments:

olivia kristina said...

:) *gatau harus bilang apa*

ric ky said...

wow!

detta aryani said...

Kdg gue jg suka bengong sendiri...