Saturday, October 31, 2009

Ruma Maida (2009)

Film besutan Teddy Soeriaatmadja ini bikin saya penasaran. Setelah kagum melihat Banyu Biru (2005), saya berharap banyak pada bertajuk Ruma Maida (2009) –melihat apa yang terjadi dua film Teddy sebelumnya yaitu Badai Pasti Berlalu (2008) dan Namaku Dick (2008) yang membuat banyak teman saya menggelengkan kepala. Terlebih saat melihat nama Ayu Utami yang di sisi label penulis scenario… wiuhhh…. Penasaran pun kian menjadi.


Namun saat lampu studio dipadamkan dan cerita bergulir di depan mata, wah rasanya saya harus mengakui ucapan orang bijak yang mengingatkan bahwa pengharapan itu adalah sesuatu yang mengerikan.


Memang tidak ada (kalau boleh hiperbola sedikit—lho hiperbola kok sedikit hehehe) yang bisa menandingi Joko Anwar dalam membuat film rumit terlihat cantik di layar. Harus diakui bahwa ide dari cerita Ruma Maida itu patut diacungi jempol. Upaya riset dan ide-ide liar yang dimasukkan dalam cerita ini membuat saya membayangkan cerita absurd ini tertuang dengan cerdas di sebuah novel. 


Ufff…sayangnya ini media film, bung… ada hal-hal yang tidak bisa serta merta dituangkan begitu saja pada media yang memiliki karakteristik unik ini. Hal-hal seperti pemilihan kostum, gerakan aktor, latar dan lainnya * maaf sotoy mode on * berpengaruh pada tanggapan dan pemahaman penonton. Penonton tak bisa mentah-mentah menerima realitas yang disajikan pembuat film, tanpa didukung oleh kelengkapan gambar.  


Sebagai contoh kecil saya sebutkan karakter utama yaitu  Maida (yang diperankan oleh si cantik Atikah Hasiholan). Maida yang disebut di situs rumamaida (www.rumamaida.com) sebagai gadis yang kikuk  tak saya lihat di film. Dia –bagi saya—terlihat sebagai gadis yang terburu-buru (tanpa diberi tahu terburu-buru kenapa), pemarah (tanpa diberi penjelasan kenapa dia begitu marah), lahir di keluarga multikultur (tanpa ada alasan atau kaitan ‘kemultikulturan’ Maida terhadap jalan cerita film). 


 Semua ini ‘bolong-bolong’ di atas membuat dahi mengernyit. Kenapa Maida demikian,  kenapa dia buka rumah singgah belajar untuk anak jalanan, kenapa skripisinya ganti, apa jurusannya di FISIP sampai dia bisa bikin analisis deskriptif *ini menurut saya, ya… * jadi feel free to correct me* dan kenapa-kenapa lainnya. Banyak pertanyaan mendasar yang membuat saya berpikir, waktu adalah sesuatu yang mewah saat film ini dibuat. 


Walau tak disuguhi oleh film yang menggetarkan hati, tapi saya cukup puas bisa mendapatkan cerita yang baik * walau butuh upaya sampai rasaya mau garuk garuk aspal * tapi… ini Film Indonesia, bung… berbahagialah ada orang yang rela bikin film ‘bagus’ di tengah kondisi yang buruk!! 


Ditunggu karya-karya selanjutnya, ya!

8 comments:

anand serpi said...

Yak, setuju! Padahal potensial beneeeer dari awal!

detta aryani said...

apa kita tungguin remake nya hihihi....

rendy imandita said...

hihihhi...dan sekali lagi sisi komersil dikedepankan ya

detta aryani said...

mmm... maksudnya apa nih, ren? atau siapa nih maksudnya, ren? hihihi... gue bilang sih sah aja namanya juga nyari duit (hare gene ndak nyari duit jadi miskin -katanya)
... gue mah nulis ini untuk kepentingan mata dan kepuasan hati gue aja :) spy besok2 nonton film indonesia bisa sedikit senyum bahagia :)

*penasaran sama selendang rocker, perjaka terakhir juga serigala terakhir*

rendy imandita said...

sama .cuma gue belum tergerak ke bioskop untuk nonton tuh pelem. gue ada dvd punk inlove lu mau minjem ga

detta aryani said...

mau donk... gambar covernya menarik!!! hehehhe... boleh ya, dibawain :)
*ditengah tumpukan kerjaan masih napsu nonton film indonesa* hehehe

rendy imandita said...

besok yak

detta aryani said...

syip.. ntar malem g sms lagi biar inget!!! ehehe :)