Tiba-tiba hidup saya terasa seperti tokoh dalam film arahan Paul Agusta.
Ada rasa benci yang terasa mengiris dengan perih.
Sebuah luka menganga.
Memerah.
Berdarah.
Merintih tak ada arti.
Menjerit apalagi.
Semua tak bisa membuat rasa sakit itu menjadi sedikit lebih bisa ditoleransi.
Yang bisa dilakukan hanyalah
menerima perih pedih sakit itu dengan lapang
dan berharap pada kuasa yang ada
agar rasa itu cepat hilang
pada detik terakhir
saya masih juga merasa seperti adegan terakhir film tersebut.
sekarat dengan pisau di genggaman
sekarat dengan dua buah pilihan
berusaha hidup dengan luka besar menganga
atau mati
menghilangkan eksistensi seorang saya
menghilangkan semua kewajiban sebagai seorang manusia yang dicipta
menghilangkan sebuah konsep mengenai masa depan
menghilangkan kerja keras manusia-manusia yang menganggap diri mereka sebagai tuhan saya
ada yang pernah berkata bahwa mati adalah tindakan yang mudah, yang sulit adalah berusaha untuk hidup.
Ah, itu menurut saya hanyalah permainan kata-kata.
mati juga sebuah usaha yang sulit
terlebih saat kematian harus dibuat sendiri.
ada perang di dada
dan pertanyaan-pertanyaan what if yang terus berputar-putar di kepala.
"Kamu tak bisa dikubur di tanah gereja,"
begitu ungkap sebuah film yang sampai saat ini masih saya renungi isinya
"Hidup ini bukan punya kamu. Sudah ada tertulis di bintang mengenai dirimu dan kamu harus menjalani takdir itu,"
Tidak ada pilihan dalam hidup
ah, terasa dingin sekali hidup itu.
sedingin pisau yang ada dalam genggaman
pilihan ada di tangan
pilihan menolak takdir
ataukah sebenarnya takdir yang menunjukkan jalan ini?
ah, sekali lagi sebuah kebimbangan...
mengapa hidup ini tak ada manual..
atau sebenarnya dulu pernah ada
dan karena orang-orang seperti saya --yang selalu membuang buku manual dari semua barang yang saya beli--
akhir manual mengenai hidup itu tak lagi diterbitkan
ah, kenapa saya terus meracau.
sesaat pisau di genggaman terasa semakin berat
dan mata pisaunya memandangi saya dengan menantang
are you gonna do it, punk?
ya, saya ingin mati... gumam saya...
kenapa? suara di kepala saya bertanya
apakah harus ada alasannya ...
bukankah butuh bertahun-tahun bagi seorang manusia untuk menemukan alasan bagi dirinya untuk hidup. bahkan ada yang sampai sekarang ada juga yang belum menemukan alasannya....
bolehkan jika itu berlaku juga buat mati?
mati dulu...
baru nanti...
nanti.... saya akan kabari kamu alasan yang tepat untuk smua ini....
veronika decided to die menggambarkan keabsurdan mencari tahu mengapa seorang ingin mati dengan cantik....
ada orang yang mencoba menghancurkan gambaran indah di kepala saya dengan mencerca penulisnya sambil berkata,
"saya kenal dia dan dia menulis itu semua karena dia tahu apa yang ingin dibaca oleh masyarakat luas. Saya yakin dia tak berpikir demikian, itu hanya sebuah bunga-bunga saja"
crap!
kenapa tiba-tiba saya teringat pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu...
crap!
kenapa tiba-tiba ada rasa marah menggelora di dada.
"Kalo lo masih marah, berarti lo masih peduli"
kutipan yang selalu nempel di kepala
yang diucapkan oleh seseorang sambil tersenyum sinis
crap...
kenapa tiba-tiba dunia saya yang tadi dingin sepi sendiri
terasa sempit karena kenangan-kenanga norak mengenai orang-orang yang pernah hadir dalam hidup saya bermunculan satu per satu
bagaimana orang bisa mati saat dipandangi oleh wajah-wajah familiar itu
saya dan pisau dingin itu terpaku
sekarat dengan dua buah pilihan
berusaha hidup dengan luka besar menganga
atau mati
hanya ada dua pilihan itu...
dan darah masih terus mengalir
menunggu
dan terus menunggu
apakah hidup masih layak dipertahankan
saat keinginan untuk hidup dan mati
tak ada lagi yang menggebu
akhirnya saya hanya bisa mangu
menunggu takdir menuntun tangan saya yang sudah terasa kaku...
jakarta, 29/12/10
sori, tapi saya harus nulis ini...
maaf kalau ini mengganggu ....
2 comments:
actually..i love this post...
pernah beberapa moment, gw berpikir seperti ini you cant put it in better words..nice.
thank you... *senyum kegeeran* menulis adalah terapi paling manjur untuk mengatasi kegilaan... jadi gue ndak pernah mikir ttg perasaan oorang yg baca... tpi seiring umur, gue mulai mikir kadang tulisan gue ngeganggu orang, jadi suka minta maaf di depan *hehe tapi tetep ngak mau ngubah tulisan* maksih... makasih banget kalo lo suka :)
Post a Comment